Thursday, May 10, 2007

SAUDARA-SAUDARAKU SETANAH AIR

Oleh Kahlil Gibran

Apa yang kau mau dariku saudara-saudaraku setanah air?
Apakah kau ingin agar aku berjanji palsu membangun istana besar dari
kata-kata dan rumah ibadah yang beratap mimpi?

Atau kau ingin agar aku memusnahkan pekerjaan para pendusta dan
pengecut dan menghancurkan pekerjaan para munafik dan tiran?

Apa yang kau mau agar kulakukan, Saudara-saudaraku setanah air?

Haruskah aku bernyanyi seperti seekor burung merpati untuk
menyenangkanmu,

Atau haruskah aku mengaum seperti singa untuk menyenangkan diriku?

Aku bernyanyi untukmu tapi kau tidak menari;

Aku berduka tapi kau tidak menangis.

Apakah kau ingin agar aku bernyanyi dan bersedih pada waktu yang
sama?

Jiwamu sedang lapar sedangkan roti pengetahuan lebih banyak daripada
batu-batu di lembah namun tidak kau makan.

Hatimu dahaga, padahal mata air kehidupan mengalir di sekeliling
rumahmu bagai sungai, tapi kau tidak minum.

Laut mengalami pasang naik dan surut, bulan muncul separuh dan
penuh, tahun membawa musim panas dan dingin, namun Keadilan tak
pernah berubah, tidak pernah goyah, tidak pernah musnah.

Kalau begitu, kenapa kau mengubah kebenaran?

Aku telah memanggilmu di malam bisu untuk menunjukkan padamu
keindahan bulan dan keanggungan bintang-bintang.

Kau bangkit, takut, dan menghunus pedang-pedangmu, dan berteriak,
“Di manakah musuh yang harus digempur?

Pada waktu fajar, penunggang kuda dari pihak musuh tiba,
Aku memanggil lagi, namun kalian tidak mau bangkit. Kalian tetap
tidur, berperang dengan musuh dalam mimpi kalian.

Kukatakan kepada kalian, “Mari kita naik ke puncak gunung di mana aku
bisa memperlihatkan kepada kalian kerajaan dunia.”

Kalian menjawab dengan berkata: “Di dasar Lembah gunung ini para
ayah dan leluhur kita hidup; dan dalam bayang-bayangnya mereka mati;
dan dalam gua-guanya mereka dimakamkan. Bagaimana kita akan bisa
meninggalkan mereka dan pergi ke tempat-tempat yang tidak mereka
datangi?”

Aku berkata pada kalian, “Mari kita pergi ke tanah-tanah datar dan
akan kuperlihatkan pada kalian tambang emas dan harta karun bumi.”

Kalian menolak dengan berkata: “Di dataran itu para pencuri dan
perampok mengintip.”

Kukatakan padamu, “Mari kita pergi ke pantai di mana laut
memperlihatkan kemurahan hatinya.”

Kalian menolak dengan berkata:“Gemuruh pada jurang itu menakutkan
kami.”

Aku cinta pada kalian, Saudara-saudaraku setanah air, namun cintaku
pada kalian menyiksa diriku, dan tidak menguntungkan kalian.

Hari ini aku membenci kalian, dan benci adalah banjir yang
menghanyutkan cabang-cabang yang sudah mati dan menggusur
bangunan-bangunan yang sudah runtuh…

Aku kasihan pada kelemahan kalian, namun rasa kasihanku memperparah
kemalasan kalian…

Apa yang kalian tuntut dariku, saudara-saudaraku setanah air?

Atau lebih tepat lagi apa tuntutan kalian pada kehidupan, kendati aku
tidak lagi menganggap kalian anak-anak kehidupan.

Jiwa kalian runduk ketakutan di tangan para tukang ramal dan tukang
sihir, sementara tubuh kalian menggigil di tangan para tiran, dan
negeri kalian membungkuk di bawah tumit sepatu para penakluk: apa
yang kau harapkan ketika kau berdiri menghadap matahari?
Pedang-pedangmu berkarat; ujung tombakmu patah; tamengmu
bergelimang lumpur. Kenapa kau berdiri di medan tempur?

Kemunafikan adalah agama kalian’ Kepura-puraan adalah hidup kalian,
debu adalah tujuan kalian.

Kenapa kalian hidup?
Kematian adalah satu-satunya tempat istirahat bagi orang-orang
nista.

Hidup adalah tekad di waktu muda, perjuangan selama masa dewasa dan
kearifan pada saat sudah matang.

Tapi kalian, Saudara-saudaraku setanah air, dilahirkan sudah tua
dan rapuh, kepalamu tertunduk,

Kulit kalian keriput, dan kau jadi seperti anak-anak bermain di
lumpur, melemparkan batu pada satu sama lain……

Kemanusiaan adalah sungai yang sangat jernih, bernyanyi, dalam
pacuan riak, dan membawa rahasia gunung-gunung ke laut dalam. Tapi
kalian adalah rawa yang endapannya penuh cacing dan tepinya penuh
ular.

Jiwa adalah keramat, nyala yang biru, menerangi wajah dewa-dewa.

Namun jiwa kalian, saudara-saudaraku setanah air, adalah abu yang
ditebarkan angin di atas salju, dan badai akan menghembusnya ke
jurang yang dalam.

Aku benci pada kalian, Saudara-saudaraku setanah air, karena kalian
remehkan kemenangan dan kebesaran.

Aku menghina kalian karena kalian menghina diri sendiri.

Aku musuh kalian karena musuh kalian adalah musuh dewa-dewa dan
kalian tidak mengetahuinya.

Diterjemahkan oleh Arman Duval dari ‘Mirrors of the Soul’ (Castle Books)

No comments: