Thursday, May 10, 2007

PEMETAAN GERAKAN MAHASISWA

Pendahuluan

Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam masyarakat modern ini? Di satu pihak, mahasiswa tidak bekerja. Ia sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman dari orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat produksi di mana ia dapat melakukan pemerasan secara langsung terhadap keringat orang lain. Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas". Ia hanyalah sebuah "sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari berbagai kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka belum memasuki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya, yaitu dalam proses produksi.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, awalnya sekolah-sekolah hanya diperuntukan bagi anak-anak penjajah dan priyayi. Anak kaum Marhaen tidak mungkin bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai tanda perlawanan maka munculah sekolah-sekolah liar, seperti Sekolah Rakyat yang dibentuk oleh Tan Malaka di Semarang, Taman Siswa, dan lain sebagainya. Setelah Indonesia merdeka sebelum Orde Baru berkuasa, anak-anak kaum Marhaen merupakan kader bangsa berjuang untuk mewujudkan cita-cita Revolusi Indonesia. Setelah Orde Baru berkuasa, maka anak-anak kaum Marhaen telah masuk ke dalam lingkaran institusi borjuasi dalam membangun masyarakat kapitalisme.

Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan pelajar/mahasiswa kian ramai. Di satu pihak, masuknya anak-anak kaum Marhaen ke sekolah/universitas memberi peluang bagi kaum borjuasi untuk menanamkan ilusi-ilusi agar kesadaran kelas mereka tidak dapat berkembang. Salah satu ilusi yang paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas", yaitu memperoleh kesejahteraan sebagai pelayan kaum borjuasi. Dengan mimpi itu, anak-anak kaum Mahaen akan mau mengkhianati kepentingan kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan turut menyebarkan ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri. Dengan demikian, mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum borjuasi, negara borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritual-ideologis kepada kaum Marhaen. Mereka menjadi unsur-unsur paling reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat.

Di pihak lain, kaum Marhaenis juga mendapatkan kesempatan untuk mendidik kader-kader kaum Marhaen dengan pendidikan tinggi, sekaligus merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan kaum Marhaen, terutama kelas buruh. Pendidikan tinggi ini sangat berguna untuk perluasan pendidikan di kalangan kaum Marhaen sendiri, meningkatkan kemampuan kritis mereka, kemampuan analisa mereka terhadap dunia sekitarnya, dan mempersiapkan mereka untuk menjalankan roda pemerintahan ketika kelak kaum Marhaen merebut kekuasaan dari tangan kaum kapitalis. Perebutan keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan rakyat Marhaen ini juga adalah sesuatu yang sangat strategis sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah kelas mereka sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas borjuasi berhadapan dengan gerakan Marhaen yang revolusioner. Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke pihak kaum Marhaen ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kaum Marhaen merebut kekuasaan, mereka akan merupakan bantuan yang tak ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan reaksi kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian - pendeknya, merupakan minyak pelumas bagi proses transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Investigasi Kampus/Universitas

Dalam pembangunan basis dan menyebarluaskan Marhaenisme di kampus/universitas diperlukan pemetaan gerakan mahasiswa yang merupakan bagian dari investigasi kampus/universitas. Kegunaan investigasi kampus adalah membantu GMNI untuk mengenal beragam persoalan, serta dapat menghitung apa yang menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan lawan. Hal ini dapat membantu GMNI dalam mengorganisasi mahasiswa dalam perjuangan politik, ekonomi dan ideologi. Perjuangan politik adalah mengalang kekuatan (machtsvorming) untuk merebut kekuasaan dalam struktural gerakan mahasiswa di kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Dewan Mahasiswa, Pers Mahasiswa, UKM. Perjuangan ekonomi adalah penggunaan kekuatan (machtsanwending) yang berdampak langsung pada mahasiswa, contohnya, kenaikan uang kuliah, fasilitas kuliah yang bobrok dan lain sebagainya dan yang berhubungan dengan kepentingan rakyat Marhaen. Perjuangan ideologi adalah penyebarluasan ideologi di lingkungan basis kampus.

Strategi machtsvorming digunakan ketika GMNI mengorganisasikan dan menyusun kekuatan gerakan mahasiswa. Awalnya Bung karno menggunakan istilah machtsvorming untuk menggambarkan massa aksi kaum Marhaen yang radikal, yang mencabut sampai keakar-akarnya imperialisme dan kapitalisme. Radikalisme inilah yang harus menjadi nyawanya machtsvorming. Bagi Bung Karno, machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita dengan jalan aksi massa. Selain pembentukan kekuatan machtsvorming juga berarti penyusunan tenaa semangat, tenaga kemauan, tenaga roh, dan tenaga nyawa. Sekarang machtsvorming akan diadopsi sebagai straegi kita mengkonsolidasikan kekuaan mahasiswa.

Strategi machtsanwending dipakai ketika GMNI menggunakan kekuatan mahasiswa, baik sebagai kekuatan penekan ekstra parlementer, yang berdampak langsung pada mahasiswa, contohnya, kenaikan uang kuliah, fasilitas kuliah yang bobrok dan lain sebagainya dan yang berhubungan dengan kepentingan rakyat Marhaen. Namun kita juga harus memperhatikan kapan, di mana, dan bagaimana kekuatan ini digunakan.

Hasil investigasi kampus/universitas dan didalamnya terdapat pemetaan gerakan mahasiswa akan dijadikan dasar analisa untuk berikutnya menentukan strategi yang tepat. Didalam pemetaan akan dikenali hubungan-hubungan organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Apakah memiliki keterkaitan historis dan ideologis atau tidak berhubungan sama sekali.

Beberapa poin utama yang harus diperhatikan oleh kader GMNI dalam melakukan investigasi kampus, yakni:

1. Ciri Umum Mahasiswa

Informasi paling penting yang harus betul-betul dipahami oleh kader GMNI dalam membangun basis di kampus adalah asal-usul kelas dan latar belakang ekonomi para mahasiswa. Analisis demikian kurang lebih bakal memungkinkan kita, memeriksa secara umum kepentingan-kepentingan dan sikap-sikap sosial mereka. Misalnya, para mahasiswa yang berasal dari kelas atas pada umumnya lebih sulit untuk menyerap issu-issu sosial dibanding mereka yang berasal dari kalangan klas menengah dan klas bawah yang secara mudah bisa dan biasa merasakan kesulitan ekonomi. Ada beberapa tipe mahasiswa yang harus kita ketahui, yakni :

a. Mahasiswa Hedonis

Kelompok mahasiswa yang paling mayoritas dan terbesar di kampus/universitas. Hasil dari tindakan refresif dan deposit Orde Kapitalis dibawah rejim Soeharto adalah rakyat yang apolitis dan mengambang, begitu juga mahasiswa. Mereka ini biasanya hanya berangkat kulah dan pulang kembali (Mahasiswa PP) tanpa melakukan aktivitas apapun di kampus/universitas dan bersifat hedon dan pragmatis.

b. Mahasiswa Diskusi

Kelompok mahasiswa yang senang memperdalam teori dengan melakukan kajian-kajian dalam diskusi-diskusi. Mereka enggan melakukan aksi-aksi dan terjun ke masyarakat sebelum melakukan kajian matang mengenai aksi yang dilakukan. Mereka cenderung eksklusif dan selalu curiga menerima tawaran aliansi dari kelompok lain. Hasil dan ukuran keberhasilan aktivitas mereka adalah dengan rutinitas penerbitan buletin, penulisan paper, penerbitan buku, kegiatan seminar.

c. Mahasiswa Aktivis

Kelompok mahasiswa yang senang aksi dan mudah bereaksi dengan demonstrasi jika ada hal-hal yang mengusik keadilan, pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, kebijakan yang merugikan rakyat, dll. Keberhasilan keja-kerja mereka diukur dengan rutinitas aksi-aksi dan barometer keberhasilan pengorganisasian adalah jumlah massa yang ikut terlibat demonstrasi.

d. Mahasiswa Intra Kampus

Aktivis mahasiswa intra kampus adalah mereka yang menjadi pengurus lembaga internal kampus seperti Senat, BEM, Unit Kegiatan Kampus (UKM), Unit Aktifitas Kampus (UKA), dll, yang biasanya birokratis, tidak luwes dalam pergerakan, ketergantungan tinggi dengan sarana kampus, militansi sempit dengan nama kampus.

e. Mahasiswa Ekstra Kampus

Aktivis mahasiswa ekstra kampus adalah mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi ekstra mahasiswa, seperti GMNI, PMII, HMI, PMKRI, GMKI (kelompok Cipayung), KAMMI, Gemsos, dll. Kelompok ini lebih tertata secara organisasional, kental identitas organisasinya, ada kecenderungan patron pada senior yang sudah sukses sebagai literatur rujukan gerakan. Ada juga dalam kelompok aktivis mahasiswa ekstra kampus berupa gerakan yang mengkritisi gerakan pemerintah dan para pelaku/aktor pembuatan keputusan, baik yang di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang menolak kooptasi kampus dan Negara. Mereka sangat luwes dalam gerak, mudah mencair dengan kelompok-kelompok lain untuk kepentingan taktis dan strategis, mampu membangun jaringan bawah tanah (underground) secara nasional. Walaupun sebenarnya mereka ini dibentuk juga oleh aktivis mahasiswa ekstra kampus kelompok Cipayung dan alumni Gerakan Mahasiswa 70 dan 80-an dan ada kecenderungan patron pada alumni kelompok Cipayung dan pada senior kelompok Cipayung dan alumni Gerakan Mahasiswa 70 dan 80-an yang sudah sukses sebagai literatur rujukan gerakan Tipe-tipe gerakan ini misalnya, Forum Kota (Forkot), Front Aksi Mahasiswa Universitas Indonesia (FAM-UI), Front Aksi Mahasiswa untuk Demokrasi (Famred), Kesatuan Aksi Mahasiswa trisakti (KAMTRI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).

Analisis berikutnya, yang harus diselidiki oleh kader GMNI adalah tingkat melek-politik para mahasiswa. Tingkat kesadaran politik dari mereka yang berada biasanya lebih rendah atau kurang, terlibat dalam persoalan-persoalan sosial yang tidak secara langsung mereka merasakannya dan tidak secara langsung menerima dampaknya. Di pihak lain, mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin pada umumnya lebih gampang menyerap persoalan-persoalan rakyat. Sekalipun demikian, hal ini tentu saja tidak berarti harus kaku, bahwa mahasiswa-mahasiswa kaya tidak akan pernah terlibat dalam aksi-aksi politik, atau sebaliknya, mahasiswa-mahasiswa miskin dapat juga bersikap apatis atau bahkan memusuhi aksi-aksi politik.

Selain menganalisis tingkat melek politik para mahasiswa, perlu juga diselidiki dan melakukan pemetaan terhadap mahasiswa yang lemah dan yang kuat, kompromis dan radikal. Kader GMNI akan melihat keduanya sebgai peluang dan tantangan sekaligus. Bagaimana memperkuat yang lemah dan menjaga stamina serta mengarahkan kelompok yang kuat sesuai ideologi GMNI.

2. Organisasi Mahasiswa

Kita juga harus sadar dan awas terhadap bermacam-macam organisasi yang sudah ada. Keanggotaannya, pengaruhnya, fungsinya dan orientasinya. Hal ini akan memberikan jalan bagi kita, bagaimana kita akan berhubungan dan bergaul dengan mereka. Hal ini penting karena hanya dengan mengetahui kekuatan organisasi tersebut kita akan dapat menentukan garis politik kita terhadap mereka. Pengetahuan terhadap organisasi mahasiswa yang sudah ada di kampus tersebut akan membantu kita juga dalam hal aliansi taktis dan strategis dalam menggalang isu di kampus dan perjuangan politik dalam merebut kekuasaan struktural organisasi kemahasiswaan.

Nilai lebih organisasi dalam organisasi mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.

2. Pemihakan pada rakyat.

3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.

Ketiga syarat tersebut mencerminkan:

1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.

2. Metodologi gerakan mahasiswa.

3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan

4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.

Kader GMNI harus mampu melakukan pemetaan ideologis terhadap organisasi-organisasi mahasiswa. Harus dikenali mana organisasi yang sepaham dan yang berbeda secara ideologi, dan mana yang ideologinya tidak jelas. Kader GMNI juga harus mampu melakukan pemetaan kekuatan dari organisasi-organisasi tersebut. Mana yang solid dan kuat, mana yang berafiliasi ke partai politik, mana yang masih bisa ditumbuhkembangkan, dan mana yang basis massanya besar, dll.

Dibawah ini pemetaan ideologis oganisasi mahasiswa di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

1. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Nasionalis Sukarnois/Marhaenisme)

2. Himpunan Mahasiswa Indonesia (Islam Politik)

3. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Islam Politik/NU)

4. Perhimpunan Mahasiswa Katholik Indonesia (Katholik)

5. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (Kristen)

6. Liga Mahasiswa Nasional Demokrat (Demokrasi Kerakyatan)

7. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Islam Politik)

8. Gerakan Mahasiswa Sosialis (Sosialisme Kanan)

3. Pejabat-Pejabat Universitas dan Fakultas

Soal lain yang penting yang harus dipertimbangkan oleh kita adalah pejabat Universitas atau Fakultas. Kader GMNI harus bisa menilainya dalam kerangka mencapai tujuan, keinginan dan orientasi yang dicita-citakan oleh organisasi kita. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan di antara mereka (para pejabat tersebut), tokoh-tokoh kunci yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan universitas atau Fakultas. Status ekonominya harus didapatkan sehingga kita akan memperoleh ide dan penilaian mengenai pandangan maupun sikap politik mereka.

Persepsi dan analisis kita terhadap para pejabat akan kita masukan kedalam klasifikasi yang sudah kita buat sesuai dengan tujuan dan orientasi organisasi kita, yakni : (a) terbuka, (b) Represif atau menindas (c) Simpati, (d) Terang-terangan mendukung. Apabila mungkin kita perlu juga harus mengamati pengalaman-pengalaman organisasi lain yang berhadapan dengan para pejabat ini.

4. Mengenai Issu

Pemahaman yang tajam dan jelas terhadap persoalan-persoalan yang dewasa ini dihadapi oleh kalangan mahasiswa merupakan faktor kunci untuk keberhasilan mengorganisir. Dalam konteks kampus atau Universitas, persoalan-persoalan yang ada dapat digolongkan kedalam dua bentuk pokok, yaitu issu lokal dan issu nasional. Issu lokal adalah issu-issu yang berdampak langsung pada mahasiswa. Sedangkan issu nasional adalah issu-issu jangka panjang dan belum menjadi perhatian yang mendesak bagi para mahasiswa.

Walaupun demikian, tidak ada pemisahan yang tegas antara dua jenis issu tersebut. Tambahan lagi, tidaklah mutlak issu-issu lokal atau kampus memperoleh perhatian penuh dari kalangan mahasiswa. Tergantung pada kondisi, issu-issu nasional bisa dipilih sebagai persoalan yang dipropagandakan.

Hal yang amat pokok dan penting bagi kita adalah menemukan atau menunjukan issu-issu yang memang secara signifikan penting buat mahasiswa. Secara akurat tepat harus dirumuskan apa yang menjadi hari ini dan yang kemudian akan menjadi jalan dalam usaha mengorganisir. Dengan mengetahui dan menguasai jalan keluar persoalan tersebut (issu-issu tersebut), maka kader GMNI akan mudah memenangkan simpati dan dukungan dari mahasiswa-mahasiswa yang antusias.

Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia

Pra Kemerdekaan

Ciri utama dari tujuan gerakan pemuda, pelajar dan mahasiswa sebelum Revolusi Agustus adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Gerakan-gerakan pemuda, pelajar dan mahasiswa tersebut mempunyai satu napas : ”Ingin memperjuangkan rakyatbanyak dan persatuan Indonesia berdasarkan nasionalisme.

Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo pada tahun 1915. Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi pemuda kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb.) dan belum tercipta konsolidasi. Baru dengan prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), beberapa organisasi kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda (IM) pada tahun 1930.

Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memilki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Muda dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan mahasiswa guna mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintahan kolonial yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI 1926 dan 1927 serta pemogokan-pemogokan buruh.

Di dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti itu muncullah alternatif Kelompok Studi (Studie-studie Club) yang politis dilihat dari orientasi dan tindakan politiknya. Analisa terhadap Studie Club jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai.

Pada masa penjajahan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam; Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner.

Masa 1945 – 1965

Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.

Periode Demokrasi Liberal 1950-1959 ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiSwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan akstivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih aktif dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.

Persiapan Pemilu 1955 gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnnya. Pada saat itu berdiri organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI.

Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara itu peran militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak akhir 1950-an.

Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanga‑nan kerja sama antara pemuda dan Angkatan Darat 17 Juni 1957. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan dalam aktivitas-aktivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas Soekarno.

GMNI, CGMI dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiswa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu politik. Orang akan dapat membaca dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa yang tergabung dengan MMI.

Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung, Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin yang semakin dalam. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung dan medirikan Majelis Permusywaratan Mahasiswa Indonesia (Mapemi) pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.

Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum tahun 1970-an aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).

Masa 1970-an

Namun seperti juga generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya yang mulai menyadari kekeliruan strategi mereka kembali membuat kesalahan strategi lainnya: terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa basis kekuatan massa yang luas, demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari; dan gerakan '78 dengan Buku Putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan frustasi. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.

Orientasi gerakan mahasiswa periode 1977/78 bukan untuk membangkitkan aksi massa, melinkan tertuju pada elit yang dapat menciptakan perubahan kekuatan politik yangbisa memanfaatkan suasana. Jadi, ada benarnya juga komentar yang mengatakan bahwa ”Dari kalangan mahasiswa ada keinginan agar kekuatan politik di luar mereka memenfaatkan suasana yang mereka ciptakan”. Inilah kenyataan yangmerefleksikan bahwa gerakan mahasiswa lebih merupakan gerakan ”resi”. Suatu gerkan yang tidak mempunyai kepentingan pribadi dan keduniaan. Pada sat gerakan mahasiswa memuncak, ribuan tentara memasuki dan menduduki kampus.

Untuk menghapuskan bangkitnya kembali gerakan-gerakan politik mahasiswa, maka pemerintah rejim Soeharto menciptakan peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Melalui peraturan ini, mahasiswa hampir tidak bisa bergerak sama sekali karena tanggungjawab keamanan kampus berada di tangan rektor sehingga setiap kegiatan mahasiswa harus selalu melalui persetujuan rektor. Peraturan ini ternyata sangat efektif karena mahasiswa lebih takut dipecat oleh universitas daripada ditangkap kaum militer.

Masa 1980-an

Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah (terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin, pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.

Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpulan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri (terutama dari Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan. BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasis­wa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa) yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya semula.

Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.

Aksi mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .

Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.

Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Masa 1990-an

Tahun 1990, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.

Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi sebagai akibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru!

Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.

Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.

Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.

Setelah Soeharto dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH pada saat itu.

Pada tanggal 5 Februari 1999 di Bandung, beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Semarang, Solo dan Purwokerto membentuk organisasi tingkat Nasional yang diberi nama FONDASI (Front Nasional Untuk Demokrasi). FONDASI kemudian melibatkan diri melalui anggota-anggotanya pada tanggal 28 Februari - 5 Maret 1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh 53 organisasi dari seluruh Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13 April di kota-kota besar Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di Surabaya yang mengalami jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun RMNI I & II tersebut tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan mahasiswa. Perdebatan yang terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999. Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi.

Akhirnya Fondasi ditambah kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki kesamaan isu yaitu cabut dwifungsi ABRI, Pemerintahan Transisi, dan kesamaan taktik menghadapi Pemilu membentuk LIGA MAHASISWA NASIONAL Untuk DEMOKRASI (LMND) dalam Kongres Mahasiswa Nasional Pertama di Bogor tanggal 9-13 Juli 1999.

Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda UU Drakula tersebut.

Tanggal 20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran.

Namun disatu sisi ternyata rejim GusDur yang masih bersifat setengah hati dalam menegakkan demokratisasi di Indonesia, mencoba untuk menarik simpati massa dengan menyingkirkan elit-elit politik gadungan dan militer yang pada saat Pemilu telah mendukungnya. Tentu saja hal ini berakibat pada munculnya konflik diinternal kabinet rejim GusDur. Elit-elit politik gadungan yang disingkirkan oleh GusDur-pun menggunakan berbagai macam cara baik itu intra maupun ekstra parlementer dalam rangka mendelegitimasi rejim GusDur. Gerakan mahasiswa yang ada pada saat itupun tidak luput dari intervensi kepentingan para elit politik gadungan tersebut. Akibatnya terjadi polarisasi antara gerakan yang pro GusDur dengan gerakan yang anti terhadap GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang terjebak dalam polemik ini adalah kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM]. Diantaranya yang cukup dominan dalam melakukan aksi-aksi massa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia atau biasa disingkat BEM-sI yang melakukan penolakan terhadap GusDur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR. Golongan Kedua adalah yang menamakan diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia [BEMI] dengan aksi-aksi pendukungan GusDur mereka. Saat inilah mahasiswa mengalami ketidakfokusan isu.

Namun demikian ada golongan diluar itu yang melihat bahwa ada usaha permainan politik oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes dalam partai Golkar serta Militer dibalik ini semua. Analisa ini datang dari golongan gerakan ekstra parlementer seperti LMND, FORKOT, FAMRED, PMII serta beberapa organ sektoral lainnya serta dari partai politik PRD, PKB dan komunitas NU-nya. Golongan yang terakhir ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi propaganda bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah pro-kontra GusDur melainkan adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan Parlemen. Namun lewat upaya-upaya licik dari elit politik gadungan –GusDur termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih esensial ini menjadi kabur dan berakhir dengan kejatuhan GusDur.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Kini

Rejim berganti rejim, Indonesia tetap dijadikan sebagai sumber bahan baku yang murah, sumber tenaga buruh yang murah, pasar bagi hasil-hasil industri negara-negara kapitalis asing yang maju, tempat investasi modal asing. Apalagi sekarang rejim komprador SBY-Kalla, rejim penguasa dan pengusaha tetap dijadikan kaki tangan kaum imperialis. Kebijakan SBY-Kalla sangat merugikan rakyat banyak dan condong kepada kebijakan-kebijakan yang sangat berbau neoliberalisme.

Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Kompas, separuh koresponden (50%) menilai peranan mahasiswa dalam menyikapi berbagai kondisi bangsa semakin menurun, meskipun 45,4% responden berpendapat sebaliknya. Aksi yang dilakukan mahasiswa dalam menyikapi kebijakan pemerintah tidak lagi memiliki kekuatan signifikan. Seandainya ada, relatif dilakukan terpecah-pecah dan tidak ada gerakan terpadu. Dalam pandangan sebagian responden (43%), kondisi demikian digambarkan sebagai gerakan politik yang terkotak dalam politik aliran, seperti agama atau ideologi tertentu (Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan, Kompas, 6 Februari 2006).

Inilah yang menjadi tugas dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia kedepan. Sudah saatnya sekarang ini kita melancarkan agitasi dan propaganda Marhaenisme di Kampus dan di Kampung (2K). Di kampus, G.m.n.I berjuang untuk memenangkan pertempuran dengan kaum borjuasi dalam merebut keberpihakan mahasiswa terhadap kepentingan kaum Marhaen. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia haruslah membuat kampus memancarkan aroma kaum Marhaen. Sudah saatnya pula GMNI kedepan bergerak bukan karena ada momentum tertentu.

Dengan demikian, tugas pertama Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia kini adalah membawa obor berapi ke jantung kubu-kubu musuh: beragitasi dan berpropaganda tanpa mengenal lelah dan takut di di kampus-kampus. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia harus selalu menggunakan alat-alat yang dapat seluas mungkin berbicara kepada setiap mahasiswa mengenai isu-isu tertinggi yang mungkin dipergunakan. Contohnya, ketika situasi sangat represif, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia harus dengan bersemangat melancarkan agitasi dari orang ke orang dengan isu demokratisasi kampus. Namun, ketika situasi terbuka telah didapatkan, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia harus mempergunakan koran untuk berproganda tentang Marhaenisme di kampus. Media yang sanggup menjangkau seluas mungkin massa dan isu yang sanggup menggerakkan sebanyak mungkin orang, sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungan termaksud.

Namun, hal ini saja belum cukup. Hujan propaganda borjuasi dilancarkan secara sistemik, terorganisir dan menyeluruh. Maka, untuk sanggup mematahkan itu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia harus pula membangun satu lingkungan kelas Marhaen di tengah-tengah kampus. Dengan satu peringatan, tanpa menjadikan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia itu sebuah sekte yang eksklusif dan menakutkan bagi massa mahasiswa secara luas.

Seringkali hal ini mustahil dilakukan di kampus, terutama ketika Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia masih merupakan minoritas dan lemah. Dalam keadaan demikian, tidak ada jalan lain bagi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selain membawa mahasiswa ke luar KAMPUS, yaitu KAMPUNG, ke tengah lingkungan kaum Marhaen, di mana budaya kaum Marhaen telah mencapai puncaknya di bawah sistem borjuasi. Setiap orang mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia harus terhubung secara fisik dan ideologis kepada dua komunitas sekaligus: Mahasiswa dan Marhaen. Ini, contohnya, dapat dilakukan dengan bergiliran masuk ke basis-basis Marhaen dan menjadi organiser Marhaen. Pendeknya, gerakan mahasiswa tidak boleh dibiarkan menjadi gerakan mahasiswa an sich.

”Milikilah keyakinan bahwa Anda semuanya dilahirkan untuk berbuat hal-hal yang besar, hai anak-anak muda. Janganlah karena mendengar suara anak-anak anjing menyalak kalian merasa takut, tidak, tidak boleh menjadi penakut sekalipun mendengar dentuman guntur di atas langit itu, tetaplah berdiri tegak dan berusaha terus”, demikianlah Swami Vivekananda berkata dalam suara kebangkitannya kepada pemuda-pemuda Hindustan, semoga dapat membangun jiwa kita dalam membebaskan kaum Marhaen dari penindasan dan penghisapan kapitalisme.

No comments: