Thursday, May 10, 2007

MARHAENISME DAN NASIONALISME INDONESIA

Nasionalis yang bukan chauvinis, nasionalis sejati, nasionalisme bukan tiruan dari nasionalisme Barat, timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan

(Sukarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, 1926)

PENDAHULUAN

Marhaenisme dan Nasionalisme Indonesia adalah sebuah mata uang dengan dua sisi yang sama. Tidak ada perbedaan diantara kedua isme diatas. Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Nasionalisme adalah sesuatu yang harum baunya dan gurih rasanya. Berbeda dengan Nasionalisme Eropa, yang di saat-saat kemunculan kapitalisme berwatak ekspansionistik dan barbarik, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang anti feodalisme, anti kapitalisme, anti kolonialisme/imperialisme, anti penindasan satu bangsa atas bangsa lain, satu kelompok atas kelompok lain. Nasionalisme Indonesia, tidak merupakan monopoli satu bangsa atau satu kaum tapi, melampaui batasan etnis, ras, suku dan agama.

Dari wataknya yang demikian, nasionalisme lantas menjadi perekat dari beragamnya kepentingan kalangan pergerakan dalam mencapai Indonesia Merdeka. Ia menjadi penanda antara “Kita dan Mereka,” “Sini dan Sana.” Di lapangan politik, nasionalisme mencapai puncaknya pada pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Melalui Proklamasi kemerdekaan politik ini, pintu gerbang menuju kemerdekaan bidang ekonomi-sosial-budaya, terkuak sedikit lebar. Untuk sektor-sektor tersebut, struktur sosial yang timpang dan menindas masih lestari. Di bidang ekonomi, misalnya, struktur ekonomi Indonesia saat itu amat didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda. Karena itu, di sektor ini, pada awal tahun 1950-an nasionalisme diterapkan dalam wujud kebijakan Program Benteng, di bawah Kabinet Mohamad Natsir, dari Partai Masyumi. Melalui kebijakan ini, pemerintahan Natsir bertujuan memperkuat posisi ekonomi kalangan pribumi agar sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. Peristiwa lainnya yang memberi jejak pada isu nasionalisme ekonomi adalah tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda, pada tahun 1958.

Kita lihat, jejak langkah nasionalisme di masa pra-Orba tujuan utamanya adalah memerdekakan untuk kemudian mengangkat harga diri bangsa dan rakyat Indonesia. Dalam bahasa Bung Karno, nasionalisme bermakna pembangunan karakter negara-bangsa, yang anti feodalisme, kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme, sekaligus mencintai perdamaian. Nasionalisme Indonesia, kata Bung Karno, bukanlah nasionalisme gontok-gontokkan atau hancur-hancuran. Dengan semangat nasionalisme, ditumbuhkan rasa percaya diri yang kuat sebagai sebuah bangsa yang besar, rasa sanggup untuk menyelesaikan masalah sendiri, dan semangat rela berkorban untuk kepentingan bersama yang lebih baik.

Tetapi, seluruh denyut nafas nasionalisme sebelum Orde Baru ini menjadi kering-kerontang, ketika berada di tangan rejim Orba. Seperti rejim sebelumnya, rejim baru ini juga sangat getol mengampanyekan soal pentingnya nasionalisme. Namun, di tangan rejim Orba, nasionalisme yang anti penindasan dan anti imperialisme, dicampakkan ke tong sampah. Jika sebelumnya nasionalisme bertujuan memerdekakan dan mengangkat harga diri bangsa dan rakyat Indonesia, maka di masa Orba, harga diri bangsa dan rakyat dibumihanguskan. Jika sebelumnya, nasionalisme bertujuan mencapai kemandirian dalam bidang ekonomi, di masa Orba ekonomi nasional dibikin tergantung kepada ekonomi Internasional. Menurut Coen Husein Pontoh, Nasionalisme Orba adalah nasionalisme yang militeristik, nasionalisme sempit, nasionalisme Orba berkaitan erat dengan kepentingan dan keistimewaan elite penguasa, nasionalisme anti bangsa sendiri, nasionalisme yang anti rakyat atau dalam bait puisi Wiji Thukul yang mengatakan, “nasionalismenya mirip-mirip Nazi.”.


MARHAENISME ADALAH SOSIALISME INDONESIA DALAM PRAKTEK

Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa untuk mempelajari dan memahami Marhaenisme terlebih dahulu harus mempelajari Marxisme dan kemudian adalah mempelajari situasi dan kondisi Indonesia. Tiga komponen dasar Marxisme, yaitu filsafat Jerman (materialisme dialektika historis), ekonomi politik Inggris (revolusi industri) dan politik Perancis (sosialisme). Mengenai filsafat Jerman bersumber pada teori Dilektikanya Hegel, yang karena berdiri di atas landasan yanng idealis, telah dirombak oleh Marx dan ditegakkan diatas landasan yang sebaliknya, yaitu materialisme dan teori Materialismenya Feurbach. Sedang sumbangan Feurbach yang terpenting adalah kritiknya terhadap idealisme Hegel. Tetapi Feurbach sendiri, yang materialis dalam pendekatannya pada gejala-gejala alam, masih seorangn idealis dalam konsepsinya mengenai gejala-gejala sosial, gejala-gejala masyarakat. Sesudah hal ini pun dirombak oleh Marx, maka seperti yang dikatakan oleh Friedrick Engels, ”idealisme diusir dari tempat pengungsiannya yang terakhir, yaitu filsafat sejarah”.

Metode ini dikatakan dialektis karena dialektika adalah ajaran “pertentangan dalam hakekat benda-benda sendiri”. Secara sederhana, dialektika adalah logika gerak, bahwa benda-benda tidak diam, selalu berubah. Sebagai logika berpikir, dialektika mempunyai tiga hukum: pertama, hukum kontradiksi. Kedua, negasi dari negasi. Ketiga, hukum perubahan kuantitas menjadi kualitas. Dikatakan materialistis, karena pengertian-pengertiannya mencerminkan kenyatan-kenyataan yang terjadi dan yang mati, yang mengalir dan yang bergerak dalam pertentangan. Metode dialektika materialis ini jika diterapkan dalam masyarakat disebut Metode Historis Materialis.

Dari konsep Marxisme seperti di atas, yaitu Historis Materialisme, sejarah masyarakat mengalami tahapan Komune primitif, perbudakan/Asiatik, Feodalisme, Kapitalisme, Sosialisme. Dalam corak produksi komune primitif, kelas-kelas sosial belum ada, alat-alat produksi masih menjadi milik kolektif, sehingga kelas-kelas sosial belum ada. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi penguasaan alat produksi, yang kemudian memunculkan kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial ini muncul pada masa perbudakan. Kemudian pada masa feodalisme, alat produksi dikuasai oleh tuan tanah atau raja, pada msa kapitalisme alat produksi berada di tangan pemilik modal, pada masa sosialisme alat produksi dikuasai oleh kaum proletariat, dan pada masa komunisme alat produksi kembali dikuasai oleh kolektif masyarakat.

NASIONALISME INDONESIA

Nasionalisme bangsa Indonesia tidak tiba-tiba muncul begitu saja jatuh dari langit. Isme ini muncul akibat pertentangan yang tajam terhadap kapitalisme yang melahirkan imperialisme dan kolonialisme. Terlebih dahulu saya ingin menguraikan tentang kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Kapitalisme, adalah sebuah nama yang diberikan terhadap sistem sosial dimana alat-alat produksi, tanah, pabrik-pabrik dan lain-lain dikuasai oleh segelintir orang yaitu kelas kapitalis (pemilik modal). Jadi kelas ini hidup dari kepemilikannya atas alat-alat produksi. Sementara kelas lain (buruh) yang tidak menguasai alat produksi, hidup dengan bekerja (menjual tenaga kerjanya) kepada kelas kapitalis untuk mendapatkan upah. Kepemilikan alat-alat produksi kemudian dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang untuk dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus.

Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan? Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan). Tetapi bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di DKI misalnya) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabanya karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan (Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan (biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jadi upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja sebuah perusahaan besar (yang telah memperdagangkan sahamnya di pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat? Jelas keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya.

Contoh sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. Harga kain sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya listrik, keausan mesin dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 – 220.000 = 280.000.

Jadi kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar sebesar 240.000. Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara 220.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama kurang dari 1 jam dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja kurang dari satu jam untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha (220.000).

Kapitalisme tidak berhenti di negaranya saja tetapi untuk memasarkan hasil produksinya agar keunntungannya bertambah besar, kapitalisme melakukkan ekspansi keluar negaranya. Bukan hanya memasarkan produknya tetapi juga mencari sumber bahan baku dan tenaga buruh yang murah. Zaman inilah kapitalisme sudah berubah menjadi imperialisme, yaitu suatu sistem untuk menguasai dan mempengaruhi ekonomi negara lain. Bukan hanya mempengaruhi dan ingin menguasai ekonomi negara lain saja tetapi juga ingin mempengaruhi dan menguasai politik negara lain, inilah yang disebut kolonialisme. Jadi imperialisme dan kolonialisme adalah anak dari kapitalisme.

Munculnya kapitalisme dimulai dengan kedatangan VOC pada tahun 1602 Masehi. Sebelumnya keadaan masyarakat Indonesia (Nusantara) adalah masyarakat yang feodal. Kedatangan imperialisme Barat di Indonesia pada saat perubahan (in transformatie) masyarakat feodal kuno menjadi masyarakat feodal modern (kerajaan Islam). Sehingga pada saat itu masyarakat Indonesia dalam keadaan sakit demam. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh imperialis Barat untuk mempengaruhi politik dan ekonominya.

Kapitalisme modern di Indonesia pada tahun 1870, dimana pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-undang Agraria. Undang-Undang Agraria ini merupakan pintu masuknya kapital (modal) di tanah Hindia Belanda. Para pengusaha partikelir Belanda dan pengusaha asing menanamkan modalnya dalam bidang perkebunan, pertanian berteknik modern dan pertambangan. Bahakan pada pada tahun 1871, pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan Undang-undang Persewaan. Sehingga makin lebarlah kapital asing masuk di tanah Hindia Belanda.

Luas tanah yang disewakan kepada pengusaha-pengusaha partikelir asing dalam tahun 1870 kurang lebih 25.000 ha, tahun 1901 meningkat menjadi 435.000 ha, tahun 1929 meningkat menjadi 3.946.000 ha dan sebagian dari luas area tersebut yaitu 1.165.525 ha telah ditanami dengan tanaman-tanaman ekspor (eksport gewassen). Tanaman ekspor yang penting meliputi luas tanah adalah sebagai berikut : karet (547.500 ha), tebu (197.000 ha), kopi (127.000 ha), teh (120.000 ha), minyak sawit (57.500 ha), kelapa sawit (51.500 ha), tembakau (48.500 ha), kina (19.500 ha), serat-serat (15.500 ha), kapuk (15.500 ha), minyak-minyak teris (11 ha). Sebagai perbandingan, luas tanah tanah tanaman dan halaman-halaman di pulau Jawa adalah 7.873.000 ha, luas sawah yang ditanami 3.372.000 ha, dan di Belanda 993.000 ha, sedangkan luas tanah-tanah onderneming di Pulau Jawa adalah 1.272.000 ha dalam tahun 1929. jadi luas tanah-tanah onderneming di Jawa yang dikuasai oleh beberapa kaum monopolis asing, terutama Belanda merupakan lebih dari sepertiga luasnya sawah berpuluh-puluh kaum tani dan lebih luas dari seluruh tanah tanaman di negera Belanda.

Masa kapitalisme ini berlangsung selama 25 tahun. Pada tahun 1895, Indonesia menginjak zaman imperialisme atau zaman kapital monopoli asing, yaitu tingkat tertinggi dari kapitalisme, dimana modal industri partikelir sudah berpadu dengan modal bank menjadi modal finans monopoli yang menguasai sepenuhnya seluruh kehidupan politik dan ekonomi Indonesia.

Pada zaman imperialisme ini, Inggris dan Perancis menghadapi kekuatan kolonial baru yaitu Belanda, Jerman dan Italia yang saling berlomba menguasai wilayah-wilayah di afrika, Asia dan Pasifik. Bagi Belanda, Indonesia (Hindia-Belanda) sangat penting dalam perekonomian Belanda, terutama keuntungan dari hasil kopi, tembakau, minyak, serta hasil pertanian dan pertambangan lainnya yang menopang sektor keuangan dalam industrialisasi di Belanda. Di zaman imperialisme ini, politik ekonomi pemerintah kolonial Belanda menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah, sumber tenaga buruh yang murah, pasar bagi hasil-hasil industri negara maju, dan tempat investasi modal asing.

Bahan mentah yang dihasilkan di Indonesia sendiri tidak diolah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi, akan tetapi di ekspor ke luar negeri untuk memenuhi pasar dunia akan bahan-bahan mentah itu. Untuk dapat mengembangkan politik ekspor kolonial secara maksimal, maka pemerintah Hindia Belanda dulu telah menjalankan politik impor yang sangat merugikan Rakyat Marhaen dan yang semata-mata hanya menguntungkan kaum kapitalis monopoli asing, terutama Belanda.

Pada tahun sebelum Perang Dunia II, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda terpaksa mengadakan tindakan-tindakan di lapangan ekspor dan impor dengan tujuan untuk :

- Melindungi barang-barang impor dari negeri Belanda dari persaingan asing, khususnya persaingan barang-barang negara Jepang.

- Mengurangi akibat-akibat buruk dari krisis ekonomi dunia terhadap kepentingan kaum kapitalis besar Belanda di Indonesia

- Melimpahkan beban-beban krisis ekonomi dunia kepada Rakyat Marhaen terutama kepada kaum buruh dan kaum tani

- Lebih memperkuat usahanya untuk menekan perkembangan industri manufaktur dan kerajinan tangan nasional Indonesia

- Memonopoli sumber-sumber devisen (mata uang asing), guna menjamin kebutuhan-kebutuhan akan bahan-bahan dan alat-alat perang

Politik impor yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda ditujukan untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi barang-barang industri negara maju berupa barang-barang konsumsi dan tidak untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri maju, juga ditujukan untuk menciptakan neraca pembayaran dan neraca perdagangan yang menguntungkan pemerintah Hindia Belanda dan secara tidak langsung menguntungkan negara Belanda, sebagaimana dapat dibuktikan dari angka-angka ekspor dan impor dari tahun 1915 sampai pada tahun 1940 sebagai berikut :

Tahun

Ekspor

Impor

Surplus

Dalam jutaan

gulden

1915

1920

1925

1930

1935

1940

770.9

2238.9

1813.4

1191.5

505.3

940.3

399.5

1310.8

862.6

922.6

277.9

437.6

371.1

928.1

950.8

269.2

227.4

502.6

Kalau kita periksa Neraca Perdagangan Belanda ternyata bukan kelebihan ekspor, tetapi kelebihan impor. Adapun Neraca Perdagangan Belanda yang selalu kelebihan impor adalah sebagi berikut :

Tahun

Rata-rata tiap tahun (dalam jutaan gulden)

1910-1914

1915-1919

1920-1924

1925-1929

1930-1934

1935-1939

572

455

944

590

508

327

Politik impor ini dilakukan oleh imperialis Belanda guna menutupi kelebihan impor di negara Belanda, sehingga hal ini sangat menguntungkan imperialis Belanda untuk menstabilisasi mata uang gulden dan memperoleh mata uang asing dan mas untuk memperkuat keuangan negeri Belanda. Akibat politik impor ini menyebabkan Indonesia hanya dijadikan negeri agraris dan Rakyat dan bangsa Indonesia tidak mempunyai perusahaan-perusahaan industri besar dan sedang.

Investasi modal asing yang masuk di Indonesia pada waktu itu, menurut catatan sejarah adalah sebagai berikut:

- 5.000.000.000 gulden Belanda sebelum Perang Dunia II, dan 0,7 sampai 0,8 dari jumlah itu yaitu 3,5 milyar gulden Belanda sampai 4 milyar gulden Belanda adalah milik Belanda (Prof. Gongrijp dalam bukunya Schets Ener Ekonomische Geschiedenis van Nederlands Indie)

- 5.000.000.000 sampai 5.500.000.000 gulden Belanda (Ir. Rutgers)

- $ 1.470.000.000 (Belanda), $ 262.500.000 (Inggris), $ 210.000.000 (Amerika), $ 105.000.000 (Perancis dan Belgia), $ 52.500.000 (Lain-lain terutama Taiwan) (Economic Report on The Economy of Indonesia, January 1953)

- 2.634.000.000 gulden Belanda (Prof. Tindergen dan Prof. Derksen)

- 6.000.000.000 gulden Belanda dan 0,7 dari jumlah tersebut sebesar 4.200.000.000 gulden Belanda adalah milik Belanda (Dr. Waller)

- kurang lebih 700.000.000 gulden Belanda di transfer ke negara Belanda setiap tahun

Dampak dari imperialisme/kolonialisme di Indonesia menurut Dr. Huender, setiap tahunnya kepala keluarga buruh dan tani miskin mendapatkan penghasilan lebih kurang 161 sen (0,40 sen perhari) dan misalkan satu keluarga rata-rata berjumlah 5 orang maka setiap orang seharinya mempunyai penghasilan lebih kurang 8 sen sehari. Dan menurut Prof. Gongrijp pada masa krisis yaitu pada tahun 1929-1933, Rakyat Marhaen penghasilannya menurun sampai 40%-50% yaitu 2,5 sen perhari (1 benggol). Bahkan kaum Marhaen diikat dengan peraturan koeli Ordonantie dan ponale sanctie. Inilah yang oleh Marx disebut dengan nilai lebih yang tidak diberikan kepada kaum proletar, dalam hal ini rakyat Marhaen.

Dengan Metode Historis Materialisme sebagai metode berpikir (pisau analisa), Bung Karno melakukan penganalisaan terhadap kondisi masyarakat Indonesia, dan ditemukanlah bahwa penderitaan itu merupakan akibat dari dilaksanakannya sistem yang menindas dan memeras, yaitu kolonialisme/imperialisme yang merupakan anak dari kapitalisme serta feodalisme bangsa sendiri.

Oleh karena penderitaan itu dialami oleh seluruh rakyat yang hidup dalam suatu wilayah geo politik, maka timbullah kesadaran kolektif sebagai rakyat yang mengalami persamaan nasib sebagai dasar bagi lahirnya rasa kebangsaan atau kesadaran nasional untuk merebut hak yang terampas, membangun negara bangsa guna membebaskan dirinya dari kolonialisme/imperialisme yang menindasnya. Kesadaran tersebut diperkuat dengan pengalaman sejarah yang membuktikan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh daerah, kerajaan, suku atau golongan secara sendiri-sendiri tidak pernah berhasil membebaskannya dari cengkeraman penjajah. Dari proses tersebut jelas bahwa Nasionalisme Indonesia lahir dari antitesa terhadap kolonialisme/imperialisme, untuk mengakhiri pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh kolonialis Belanda terhadap rakyat Indonesia. Secara dialektis, masyarakat yang sedemikian ini pasti merindukan suatu keadilan, masyarakat yang demikian ini pasti merindukan suatu kehidupan tanpa pemerasan dan penindasan yang membelenggu hidupnya.

Pemahaman Bung Karno akan keadaan bengsa dan rakyat Indonesia yang demikian itu, melahirkan sintesa yang dirumuskan sebagai ideologi yang mencita-citakan terlaksananya kehidupan yang adil dan beradab tanpa pemerasan dan penindasan. Hanya dengan perjuangan nasional, kolonialisme Belanda akan dapat dihancurkan, dan atas dasar nasionalisme itu pula negara kebangsaan (nation state) akan dapat dibangun. Dengan menyadari bahwa penindasan suatu bangsa atas bangsa lain adalah suatu kekejaman yang melahirkan penderitaan, maka negara bangsa yang akan dibangun bukanlah suatu negara yanng akan melakukan penindasan terhadap bangsa lain, melainkan negara kebangsaan untuk mensejahterakan kehidupan umat manusia atas dasar kesederajatan dalam kebersamaan, nasionalisme yangn ingin mengangkat harkat dan derajat hidup manusia, nasionalisme yang berperikemanusiaan yang tidak menginginkan terjadinya I’exploitation de nation par nation (penindasan suatu bangsa terhadap bangsa lain), maupun I’exploitation de l’homme par I’homme (penindasan manusia terhadap manusia lain). Dengan demikian maka dapatlah dipahami bahwa watak dari Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang chauvinistik, melainkan nasionalisme yang berperikemanusiaan, nasionalisme yang menginginkan terwujudnya kesejahteraan bersama, atau sosio-nasionalisme.

CITA-CITA NASIONALISME INDONESIA

Penderitaan rakyat Indonesia tidak hanya datang dari penindasan bangsa asing, tetapi juga datang dari bangsa sendiri melalui sistem feodalisme yang menistakan hak dan kedaulatan rakyat. Sebagai antitesa terhadap feodalisme, mak diatas negara bangsa yang merdeka itu harus dibangun demokrasi. Demokrasi bukanlah sekedar kebebasan, melainkan tegaknya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang harus berdaulat, dan kedaulatan itu dipergunakan untuk melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrasi yang dibangun adalah demokrasi yang mendatangkan keadilan sosial.

Demokrasi adalah alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Untuk itu rakyat harus berdaya dan berdaulat. Demokrasi ditegakkan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok orang, bukan demokrasi yang mengabdi kepada kepentingan kaum borjuis dan kapitalis, melainkan sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan rakyat. Kedaulatan rakyat yang ingin dibangun bukanlah kedaulatan untuk balik menindas kelas sosial yang menindasnya, melainkan kedaulatan yang berkeadilan sosial. Demokrasi yang ingin ditegakkan adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, atau demokrasi yang berkeadilan sosial, Bung Karno menyebut yang demikian itu sebagai sosio-demokrasi.

MARHAENISME ADALAH TEORI PERJUANGAN

Marhaenisme tidak mungkin diwujudkan selama Indonesia masih dalam cengkeraman kolonialisme/imperialisme. Maka, untuk dapat mewujudkan kesejahteraan hidupnya, terlebih dahulu masyarakat Indonesia membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan. Untuk kebebasan itu bung Karno mengajarkan paham Nasionalisme. Dengan bersatu padunya rakyat Indonesia sebagai upaya memebebaskan dirinya dari penindasan kolonialisme/imperialisme dapat tercapai. Dan hanya di atas kemerdekaan nasional yang oleh Bung Karno disebut sebagai ”jembatan emas” itulah bangsa Indonesia dapaty membangun masyarakat yang sejahtera, masyarakat adil makmur material dan spiritual. Tanpa Kemerdekaan nasional, masyarakat adil-makmur dan beradab tidak akan dapat diwujudkan.

Perjuangan kaum Marhaen dan kaum Marhaenis dalam mewujudkan masyarakat sosialisme, memerlukan suatu strategi dan cara yang disebut asas perjuangan. Asas perjuangan melahirkan watak atau karakter yang merupakan ciri perjuangan kaum Marhaen dan kaum Marhaenis. Sesuai dengan watak dan karakter idiologi Marhaenisme, asa perjuangan kaum Merhaenis berpegang pada, radikal revolusioner, non kooperasi, machtscvorming, machtsaanwending, massa aksi, self help dan self reliance.

Radikal revolusioner adalah cara perjuangan untuk melakukan perubahan secara mendasar (mengakar-radix) dan cepat. Radikal revolusioner sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekerasan, apalagi bunuh-bunuhan. Dasar dari radikal revolusioner adalah sikap non kooperasi (tidak ada kompromi) terhadap sistem yang menindas dalam segala bentuknya. Bung Karno mengatakan : ”sana mau ke sana, sini mau ke sini”. ”Non kooperasi adalah suatu prinsip yangn hidup, tidak mau bekerja bersama-sama di atas segala lapangan politik kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjuangan yang tak kenal damai dengan kaum pertuanan itu.... Non kooperasi adalah berisi radikalisme, -radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak terjang, radikalisme di dalam semua sikap lahir dan batin.” (DBR I -189 & 190).

Bung Karno mengatakan bahwa non kooperasi merupakan sumber dan landasan dalam melakukan penggalangan dan penggunaan kekuatan (machtscvorming dan machtsaanwending). Namun harus disadari bahwa yang dimaksud dengan machtscvorming bukanlah sekedar terhimpunnya banyak orang, melainkan bersatunya banyak orang yang memiliki satu semangat dan cita-cita. ” machtscvorming bukanlah penyusuanan tenaga wadag sahaja, machtscvorming adalah juga penyusunan tenaga semangat, tenaga kemauan, tenaga Roch, tenaga Nyawa.” (DBR I - 301). Dan dari noon kooperasi itu pulalah akan lahir massa aksi. Yang dimaksud dengan massa aksi adalah setiap bentuk kegiatan yang dapat melahirkan kesadaran Rakyat untuk bergerak mencapai cita-citanya. ”Massa aksi adalah kebangkitan massa secara radikal dan revolusioner yang dalam hakekatnya ialah pergerakan sendiri.” (DBR I - 198).

Perjuangan kaum Marhaen dan Marhaenis harus dilandasai self help (mandiri) sehingga tidak ada ketergantungan kepada pihak lain yang dapat mengkooptasi (membelokkan dengan niat buruk) gerakan. ”... bahwa oleh antitese ini, kemenangan hanyalah bisa kita capai dengan kebiasaan sendiri. Inilah yang biasanya kita sebutkan politik ”percaya pada kekuatan sendiri”, politik ”self help dan non-cooperation”. (DBR I - 291).

Atas dasar self help dan non-kooperasi itulah akan tumbuh kepercayaan diri (self reliance), suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk dapat memenangkan perjuangan. ”Maka kitapun harus menjalankan non-kooperasi itu terutama sekali untuk menyusun rochaninya Gedong Kemerdekaan kita, untuk self reliance kita, untuk ”revolusionare lading” daripada masyarakat kita.” (DBR I - 212)

Dengan memegang teguh asas perjuangan di atas, upaya mewujudkan cita-cita kaum Marhaen dan kaum Marhaenis yaitu terciptanya masyarakat Marhaenistis berdasarkan Marhaenisme, kaum Marhaen dan kaum Marhaenis mengemban 3 (tiga) misi utama, yaitu: pertama, membangun kesadaran rakyat atas penderitaannya. Kedua, membangun kekuatan kaum Marhaen dan kaum Marhaenis agar dapat menjadi subyek sosial-politik yang menentukan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, menggalang kekuatan progresif revolusioner, yaitu semua kekuatan yanng mendukung terciptanya revolusi Indonesia sesuai dengan tahapan-tahapannya. Tujuan revolusi tersebut akan dicapai melalui tiga tahap revolusi, yang oleh Bung Karno disebut ”Tiga Kerangka Revolusi”, yaitu Kemerdekaan Penuh/Nasional Demokratis, Sosialisme Indonesia dan Dunia Baru yang Adil dan Beradab.

ORDE BARU REINKARNASI ORDE KOLONIAL

Setelah kekuasaan Bung Karno dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan imperialis/kolonialis dengan dibantu oleh komprador-kompradornya maka Orde Sosialis telah jatuh ke tangan Orde Kapitalis bangsa sendiri (Orde Baru). Cita-cita Revolusi Indonesia, yaitu Kemerdekaan Penuh, Sosialisme Indonesia, dan Dunia Baru telah kandas ditengah jalan. Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1967 yaitu kebijaksanaan pintu terbuka (open door policy), maka sejak saat itu modal transnasional hampir tanpa penyaringan masuk dengan leluasa ke Indonesia. Muncullah raksasa-raksasa perusahaan asing yang menjanjikan perbaikan kualitas hidup dengan baju pertumbuhan pembangunan.

Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Orde Baru yang merupakan reinkarnasi dari Orde Kolonial dimana praktek ekonomi politik yang dijalankan hampir sama. Seperti halnya pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan baku yang murah, sumber tenaga buruh yang murah, pasar bagi hasil-hasil industri negara-negara kapitalis asing yang maju, tempat investasi modal asing. Orientasi ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru ditujukan untuk ekspor (kapitalisme pinggiran). Bahan mentah yang dihasilkan di Indonesia sendiri tidak diolah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi, akan tetapi di ekspor ke luar negeri untuk memenuhi pasar dunia akan bahan-bahan mentah itu. Dalam laporan World Bank pada tahun 1997, politik impor Orde Baru hanya menciptakan pertumbuhan impor barang-barang konsumsi. Misalnya selama periode 1993-1995, tingkat pertumbuhan impor barang konsumsi berkisar diantara 20,2 persen hingga 52,2 persen dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan impor bahan baku dan bahan penolong yang berkisar di antara 15,6 persen hingga 28,1 persen dan tingkat pertumbuhan barang modal yang berkisar diantara 3,7 persen hingga 17,3 persen. Keseluruhan tingkat pertumbuhan impor ini menunjukkan pertumbuhan yang drastis. Maka pemerintah Orde Baru dulu telah menjalankan politik impor yang sangat merugikan Rakyat Marhaen dan yang semata-mata hanya menguntungkan kaum kapitalis monopoli asing.

Secara struktural kapitalisme pinggiran yanng dijalankan oleh pemerintah Orde Baru akan selalu menciptakan ekonomi yang berat sebelah dan berorientasi keluar, dimana kegiatan-kegiatannya bersifat ekstraktif dan ekspor, sehingga tidak mendorong terciptanya industrialisasi. Dibawah ini bisa kita lihat perkembangan ekspor impor Indonesia, dimana setiap tahun Indonesia selalu surplus :

Tahun

Ekpor

Impor

1974

1975

1976

1977

1978

1979

1980

1981

1982

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

7,426

7,103

8,547

10,853

11,643

15,590

23,950

25,165

22,328

21,146

21,888

18,587

14,805

17,136

19,219

22,161

25,677

29,142

33,967

36,823

40,053

45,418

49,815

3,842

4,770

5,673

6,230

4,690

7,203

10,834

13,272

16,859

16,352

13,882

10,259

10,718

12,370

13,248

16,359

21,837

25,869

27,280

28,328

31,983

40,629

42,929

Sumber : Biro Pusat Statistik

Menurut catatan Kementerian Koperasi dan UKM yang kerja sama dengan BPS tahun 2002, jumlah usaha di Indonesia sebanyak 41,3 juta, 99,85 persen didominasi oleh usaha kecil, sedangkan usaha menengah hanya sebanyak 61.052 atau 0,15 persen, dan usaha besar mencapai 2.198 atau 0,01 persen. Akibat politik impor ini menyebabkan Rakyat dan bangsa Indonesia tidak mempunyai perusahaan-perusahaan industri besar dan sedang. Sehingga kapitalisme pinggiran hanya mencetak kaum Marhaen bukan kaum Proletar. Walaupun memang Data BPS pada tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya 45,1% angkatan kerja Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Lainnya bekerja di berbagai macam industri, mulai dari Industri Manufaktur (13%); Pertambangan, Energi dan Konstruksi (4,5%); Perdagangan dan Perbankan (21,6%); dan sisanya (15,8%) di sektor Jasa. Lebih jauh lagi, data Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1999 menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya menyumbang 19,5% dari PDB. Sektor Industri Manufaktur menyumbang 25,9%; sektor Pertambangan, Energi dan Konstruksi menyumbang 17,8%; Perdagangan dan Perbankan menyumbang 11,3%. Sisanya yang 25,5% disumbangkan oleh sektor Jasa, termasuk transportasi. Berarti dengan data diatas menunjukkan kaum Buruhlah yang mayoritas, tetapi usaha besar hanya 0,01 persen dari jumlah usaha di Indonesia.

Dalam catatan saya tentang investasi asing yang masuk di Indonesia sejak dibukanya modal asing pada tahun 1967 adalah sebagai berikut:

- Angka-angka neraca pembayaran yang terperinci yang diterbitkan oleh Dana Moneter Internasional menunjukkan, selama periode 1973-1993, setiap US$ 1 yang masuk dalam pos investasi asing diperkirakan modal diikuti oleh US$10,19 yang keluar sebagai keuntungan yang direpratiasi keluar negeri Indonesia oleh para investor asing di Indonesia seperti yang terlihat diperkiraan berjalan.

- Berdasarkan catatan yang ada pada Menko Ekuin utang luar negeri Indonesia per 31 Maret 2000 mencapai US$ 144,23 milyar. Dari jumlah itu utang pemerintah (tidak termasuk utang BUMN) mencapai US$75,03 milyar, sedangkan utang swasta US$ 69,2 milyar. Sementara utang BUMN tercatat US$ 5,14 milyar. Dari seluruh utang swasta US$ 69,2 milyar, utang non perbankan mencapai US$ 42, 4 milyar. Perinciannya Penanaman Modal Asing sebesar US$ 27,9 milyar dan Penanaman Modal Dalam Negeri sebesar US$14,6 milyar (Kompas, 23 Agustus 2000)

- Pinjaman sebanyak US$1,5 milyar dari ADB, sebanyak US$ 1,4 miliar untuk impor. Pinjaman dari pihak Jepang US$ 1,65 milyar maka sebayak 80,2 persen adalah berupa pinjaman program, 9 persen berupa technical assistance, dan yang 10,8 persen untuk lain-lain. Jadi setiap pinjaman dai pihak asing manfaat pun akan jatuh ke pihak asing. (Prof. Dr. Sritua Arif).

- Selama periode 1980-1993, nilai kumulatif cicilan pokok hutang pemerintah (hutang jangka menengah dan jangka panjang) mencapai angka US$ 41,4 milyar diiringi peningkatan nilai kumulatif hutang pemerintah ini sebesar US$69,4 milyar dalam periode yang sama. Selama periode tahun fiskal 1995-1997, dari jumlah nilai hutang luar negeri sektor pemerintah, investasi asing dan aliran masuk hutang swasta, yang semuanya bernilai sebesar US$52 milyar telah digunakan sebesar US$ 25,2 milyar untuk menutup depisit perkiraan berjalan (48,5%), sebesar US$17,9 milyar untuk membayar cicilan pokok hutang luar negeri pemerintah (34,4%), dan sebesar US$ 8,9 milyar untuk menambah cadangan devisa (17,1%).

- Pelarian modal dari Indonesia kumulatif 9,4 miliar dollar AS selama periode 1970-1980 dan 11,17 miliar dollar AS selama periode 1988-1991 Selama periode 1970-1980, pelarian modal 9,4 miliar dollar AS telah dibiayai oleh 51 persen dari pertambahan hutang luar negeri Indonesia selama periode ini dan pelarian modal 11,17 miliar dollar AS selama periode 1988-1991 telah dibiayai oleh 42 persen dari pertambahan hutang luar negeri selama periode ini (Mubarik Ahmad)

- Untuk tahun fiskal 1995/1996, nilai pelarian modal dari Indonesia adalah 11,7 miliar dollar AS setelah juga memperhitungkan pos net errors and ommissions. (Prof. Dr. Sritua Arif)

- Pelarian modal ini terjadi selain dari secara terang-terangan mentransfer modal ke luar negeri juga dilakukan melalui praktek-praktek menaikkan nilai impor (overinvoicing of import) dan merendahkan nilai ekspor (underinvoicing of exports), baik yang dilakukan oleh kapitalis asing maupun oleh kapitalis Indonesia. Praktek-praktek ini sama seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin (Pastor, 1990) dan Filipina di zaman Marcos (Bouce, 1992)

Akibat dari diterapkannya kapitalisme di Indonesia oleh pemerintah Orde Baru yang sangat merugikan rakyat Indonesia, yang akhirnya dampaknya sama seperti pemerintah kolonial dalam menerapkan kapitalisme di Indonesia. Sejak perdagangan bebas masuk di Indonesia setelah 1998, jumlah pengangguran/setengah penganggur telah mencapai 40 juta orang. Data BPS (Biro Pusat Statistik) menunjukkan sejak tahun 1996 harga-harga telah naik sebesar 226,04% (lebih tiga kali lipat); sementara upah buruh secara nasional hanya naik sekitar 50% (satu setengah kali lipat).

Kapitalisme pinggiran hanya melahirkan kelas Marhaen. Buruh di negeri ini harus rela membagi kemiskinannya pada manusia lain yang juga miskin. Ada keluarga di kampung yang juga berkekurangan, ada para ojek yang mengantri di gerbang-gerbang
kawasan industri, ada pedagang kaki lima dan asongan yang berderet sepanjang
jalan, ada ibu/bapak kost, dan lain-lain. Mereka yang miskin itu bertahan hidup dari
upah sang buruh yang tidak kaya.

Mereka yang tidak memiliki pilihan lebih baik di negeri inilah yang kemudian terpaksa harus lari ke berbagai negeri. Jadi babu, disiksa dan diperkosa. Jadi buruh kebun, gaji sering seret atau tidak dibayar. Jadi kuli bangunan, tak banyak bedanya. Meski begitu mereka tak pernah surut. Setiap tahun pasti bertambah. Wuih! dua juta manusia setiap tahun! Malah mau ditambah jadi empat juta setiap tahun! Para penguasa itu bilang: "Ya.. ya... tambah lagi! Karena merekalah pabrik dolar. Kita perlu dolar untuk bayar utang." Kemudian dilanjutkan; "Ada lagi satu keuntungan. Bila mereka tetap di sini, hanya akan jadi penyakit sosial, atau bisa jadi pemberontak. Kita memang tak sanggup memberi kehidupan bagi mereka."

Begitulah. Jadi mereka bukan sekedar lari, tapi sengaja diusir dari negeri sendiri. Para penguasa lebih rela memberikan uang kepada korporasi perbankan di negeri-negeri maju, dari pada melindungi rakyat dan negerinya sendiri dari kehancuran. Mereka memfasilitasi modal yang bergerak liar mencari sasaran eksploitasi; bumi, air, tanah, dan segala yang terkandung di dalamnya, tenaga kerja murah, dan pasar bagi berbagai komoditi mereka. Liberalisasi adalah strategi, atau cara, atau proses untuk mengkoloni, memonopoli, menguasai ekonomi seluruh negeri dunia.

PENUTUP

Masih relevankan Marhaenisme? Masih relevankah Sosio-Nasionalisme yang bercita-citakan masyarakat yang adil dan makmur atau Sosio-Demokrasi? Saya kira dengan data-data diatas, ternyata rakyat Indonesia yaitu kaum Marhaen sangat menderita dalam kemiskinan yang absolut akibat kapitalisme yang lebih tinggi lagi yang berwujud dalam nama neoliberalisme dan kapitalisme bangsa sendiri yang bersifat feodal. Dengan Metode Historis Materialisme, rakyat Indonesia telah ditindas dan dihisap oleh sistem neoliberalisme yang merupakan anak keturunan dari kapitalisme dan kapitalisme bangsa sendiri yang bersifat feodal. Rakyat Indonesia tidak berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkeperibadiaan dalam bidang kebudayaan.

Bagaimana dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (G.m.n.I)? Pertanyaan tersebut sangat erat kaitannya dengan Marhaenisme sebagai ideologi G.m.n.I. Sebelumnya saya ingin menguraikan analisa kelas mahasiswa. Dalam masyarakat kapitalisme seperti sekarang ini terdapat dua kelas yang saling berhadapan, yaitu kelas penindas (kapitalis) dan kelas tertindas (Marhaen). Dalam Sembilan Tesis Marhaenisme, Bung Karno secara tegas sudah mendefinisikan siapa itu kaum Marhaen. Kaum Marhaen adalah semua orang yang hidupnya menderita sebagai akibat dari penindasan dan pemerasan kolonialisme/imperialisme, feodalisme, maupun sistem lain yang memeras dan menindasnya.

Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam masyarakat modern ini? Di satu pihak, mahasiswa tidak bekerja. Ia sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman dari orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat produksi di mana ia dapat melakukan pemerasan secara langsung terhadap keringat orang lain. Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas". Ia hanyalah sebuah "sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari berbagai kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka belum memasuki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya, yaitu dalam proses produksi.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, awalnya sekolah-sekolah hanya diperuntukan bagi anak-anak penjajah dan priyayi. Anak kaum Marhaen tidak mungkin bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai tanda perlawanan maka munculah sekolah-sekolah liar, seperti Sekolah Rakyat yang dibentuk oleh Tan Malaka di Semarang, Taman Siswa, dan lain sebagainya. Setelah Indonesia merdeka sebelum Orde Baru berkuasa, anak-anak kaum Marhaen merupakan kader bangsa berjuang untuk mewujudkan cita-cita Revolusi Indonesia. Setelah Orde Baru berkuasa, maka anak-anak kaum Marhaen telah masuk ke dalam lingkaran institusi borjuasi dalam membangun masyarakat kapitalisme.

Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan pelajar/mahasiswa kian ramai. Di satu pihak, masuknya anak-anak kaum Marhaen ke sekolah/universitas memberi peluang bagi kaum borjuasi untuk menanamkan ilusi-ilusi agar kesadaran kelas mereka tidak dapat berkembang. Salah satu ilusi yang paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas", yaitu memperoleh kesejahteraan sebagai pelayan kaum borjuasi. Dengan mimpi itu, anak-anak kaum Mahaen akan mau mengkhianati kepentingan kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan turut menyebarkan ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri. Dengan demikian, mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum borjuasi, negara borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritual-ideologis kepada kaum Marhaen. Mereka menjadi unsur-unsur paling reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat.

Di pihak lain, kaum Marhaenis juga mendapatkan kesempatan untuk mendidik kader-kader kaum Marhaen dengan pendidikan tinggi, sekaligus merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan kaum Marhaen, terutama kelas buruh. Pendidikan tinggi ini sangat berguna untuk perluasan pendidikan di kalangan kaum Marhaen sendiri, meningkatkan kemampuan kritis mereka, kemampuan analisa mereka terhadap dunia sekitarnya, dan mempersiapkan mereka untuk menjalankan roda pemerintahan ketika kelak kaum Marhaen merebut kekuasaan dari tangan kaum kapitalis. Perebutan keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan rakyat Marhaen ini juga adalah sesuatu yang sangat strategis sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah kelas mereka sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas borjuasi berhadapan dengan gerakan Marhaen yang revolusioner. Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke pihak kaum Marhaen ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kaum Marhaen merebut kekuasaan, mereka akan merupakan bantuan yang tak ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan reaksi kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian - pendeknya, merupakan minyak pelumas bagi proses transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Inilah yang menjadi tugas dari Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia kedepan. Sudah saatnya sekarang ini kita melancarkan agitasi dan propaganda Marhaenisme di Kampus dan di Kampung (2K). Di kampus, G.m.n.I berjuang untuk memenangkan pertempuran dengan kaum borjuasi dalam merebut keberpihakan mahasiswa terhadap kepentingan kaum Marhaen. Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia haruslah membuat kampus memancarkan aroma kaum Marhaen.

Dengan demikian, tugas pertama Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia adalah membawa obor berapi ke jantung kubu-kubu musuh: beragitasi dan berpropaganda tanpa mengenal lelah dan takut di di kampus-kampus. Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia harus selalu menggunakan alat-alat yang dapat seluas mungkin berbicara kepada setiap mahasiswa mengenai isu-isu tertinggi yang mungkin dipergunakan. Contohnya, ketika situasi sangat represif, Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia harus dengan bersemangat melancarkan agitasi dari orang ke orang dengan isu demokratisasi kampus. Namun, ketika situasi terbuka telah didapatkan, Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia harus mempergunakan koran untuk berproganda tentang Marhaenisme di kampus. Media yang sanggup menjangkau seluas mungkin massa dan isu yang sanggup menggerakkan sebanyak mungkin orang, sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungan termaksud.

Namun, hal ini saja belum cukup. Hujan propaganda borjuasi dilancarkan secara sistemik, terorganisir dan menyeluruh. Maka, untuk sanggup mematahkan itu, Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia harus pula membangun satu lingkungan kelas Marhaen di tengah-tengah kampus. Dengan satu peringatan, tanpa menjadikan Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia itu sebuah sekte yang eksklusif dan menakutkan bagi massa mahasiswa secara luas.

Seringkali hal ini mustahil dilakukan di kampus, terutama ketika Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia masih merupakan minoritas dan lemah. Dalam keadaan demikian, tidak ada jalan lain bagi Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia selain membawa mahasiswa ke luar KAMPUS, yaitu KAMPUNG, ke tengah lingkungan kaum Marhaen, di mana budaya kaum Marhaen telah mencapai puncaknya di bawah sistem borjuasi. Setiap orang mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia harus terhubung secara fisik dan ideologis kepada dua komunitas sekaligus: Mahasiswa dan Marhaen. Ini, contohnya, dapat dilakukan dengan bergiliran masuk ke basis-basis Marhaen dan menjadi organiser Marhaen. Pendeknya, gerakan mahasiswa tidak boleh dibiarkan menjadi gerakan mahasiswa an sich.

”Milikilah keyakinan bahwa Anda semuanya dilahirkan untuk berbuat hal-hal yang besar, hai anak-anak muda. Janganlah karena mendengar suara anak-anak anjing menyalak kalian merasa takut, tidak, tidak boleh menjadi penakut sekalipun mendengar dentuman guntur di atas langit itu, tetaplah berdiri tegak dan berusaha terus”, demikianlah Swami Vivekananda berkata dalam suara kebangkitannya kepada pemuda-pemuda Hindustan, semoga dapat membangun jiwa kita dalam membebaskan kaum Marhaen dari penindasan dan penghisapan kapitalisme.

*****

Referensi:

1. Anonim, Pengantar Ekonomi Politik, http://www24.brinkster.com/Indomarxist/00000066.htm

2. Bulkin, Farchan, Negara, Masyarakat dan Ekonomi, Prisma No. 8, 1984.

3. Bulkin, Farchan, Sebuah Catatan Penelitian : Kapitalisme, Golongan Menengah, Negara, Prisma No. 2, Februari 1984.

4. Kusumandaru, Ken Budha, Memperkenalkan Konsep Lenin Tentang Imperialisme, Bacaan Progess, 2000.

5. Lenin, V.I. Imperialisme: Tingkat Tertinggi Kapitalisme, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1958.

6. Njoto, Marxisme : Ilmu dan Amalnya, Teplok Press, Juni 2003.

7. Pontoh, Coen Husain, Nasionalisme : Siapa Takut?, http://indoprogress.blogspot.com/2006_04_01_indoprogress_archive.html

8. Sakirman, Tentang Ekonomi dan Keuangan, Ekonomi dan Masyarakat No. 1, 1959.

9. Savitri, Ratnasari, Revolusi Demokratik atau Revolusi Sosialis, Bacaan Progress, http://pdsorganiser.topcities.com/bacaanprogresif/RevDematauRevSosII.htm

10. Siahaan, Pataniari, Kumpulan Tulisan Terpilih Bung Karno : Api Perjuangan Rakyat, Lembaga Kajian Ekonomi Politik dan Yayasan Kekal Indonesia, Jakarta, 2002.

11. Soenarto, H.M, Euforia, Reformasi, Revolusi : Pergulatan Idelogi dalam Kehidupan Berbangsa, Lembaga Putra Fajar, Jakarta, 2003.

12. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I Cetakan kedua, Panitia Penerbit DBR.

13. Sukarno, Sarinah : Perjuangan Wanita Indonesia, 1949.

14. Tim Kajian LKSM, Perspektif Pemikiran Bung Karno, Lembaga Putra Fajar, Jakarta, 2003.

No comments: