Thursday, May 10, 2007

DASAR-DASAR POKOK MARHAENISME

KAPITALISME, IMPERIALISME DAN KOLONIALISME

Marhaenisme lahir sebagai suatu ajaran tentang ajaran asas dan cara perjuangan Rakyat Indonesia ditengah-tengah dan dari masyarakat kolonial. Feodalisme dan kolonialisme itulah sebab daripada penderitaan Rakyat Indonesia.

Feodalisme adalah suatu sistem tata masyarakat yang dikuasai oleh raja dan kaum ningrat dimana Rakyat tidak mempunyai hak sama sekali tetapi hanya dibebani kewajiban-kewajiban belaka.

Kolonialisme adalah bentuk daripada imperialisme dan imperialisme itu adalah kelanjutan dari kapitalisme.

Adapun kapitalisme itu ialah suatu sistem tata masyarakat yang timbul dari cara produksi barang-barang kebutuhan manusia yang memisahkan kaum buruh pembuat barang-barang itu, dari alat-alat produksi. Artinya ialah bahwa alat-alat produksi itu dimiliki oleh kaum modal, sedangkan kaum buruh yang untuk penghidupannya hanya dapat menual tenaga kerjanya saja, terpaksa menjual tenaga kerjanya itu kepada kaum modal, pemilik alat-alat produksi.

Oleh kaum modal didalam proses produksi itu hanya mengenal satu tujuan saja, yaitu untung sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri, maka ia selalu berusaha untuk memperbesar keuntungannya itu dengan menekan upah buruh serendah-rendahnya. Dengan demikian kaum modal dapat menjual barang hasil produksinya dengan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Yang menyebabkan keuntungan menjadi besar bagi kaum modal itu ialah karena didalam harga barang hasil produksinya termasuk juga harga tenaga kerja buruh yang tidak dibayarkan pada kaum buruh tetapi masuk kantongnya kaum modal. Kelebihan keuntungan yanng sebetulnya harus dibayarkan kepada kaum buruh yang membuat barang itu, dinamakan “Mehwert” atau “nilai lebih”.

Maka cara produksi yang demikian itu yang menyebabkan bertimbun-timbunnya modal atau kapital, yaitu yang dinamakan akumulasi kapital. Akan tetapi tidak berhenti disitu saja. Kaum modal yang sudah berhasil menimbun-nimbun modal itu belum puas juga, kalau ia punya saingan belum dimatikan.

Meskipun didalam sistem kapitalisme persaingan bebas diakui dan dijunjung tinggi, tetapi didalam praktek kapitalisme saingan bebas itu ditafsirkan sebagai kebebasan untuk menyaingi lawannya demikian rupa sehingga ia mati, atau sebagai kebebasan untuk menghimpun kaum modal beserta modalnya didalam suatu konsentrasi atau sentralisasi kapital yang besar, didalam bentuk kartel atau trust, sehingga persaingan antara kaum modal itu tidak ada lagi.

Dengan demikian kaum modal bersatu menjadi suatu monopoli yang makin lama makin kearah kemelaratan. Inilah yang dinamakan teori “Verelendung” atau teori memelaratkan kaum buruh.

Akibat daripada konsentrasi kapital yang menjadi monopoli itu, ialah menghebatnya kemajuan industri. Kalau dahulu industri dijalankan secara kecil-kecilan, maka sesudah adanya kartel atau trust, industri dijalankan secara besar-besaran.

Apalagi sesudah mesin uap dipergunakan untuk menggantikan mesin tangan. Tetapi dengan meningkat hebatnya industri, maka menghebat pula kekejaman kapitalisme. Pengaruhnya merajalela diseluruh tubuh masyarakat : bidang ekonomi, bidang politik, bidang sosial, ya sampai kepada bidang keluarga pun cengkeraman pengaruh kapitalsme nampak dan dirasakan.

Demikianlah dengan singkat perkembangan kapitalisme di jaman abad ke-19 dan ke-20, yaitu di jaman moderen. Maka kapitalisme yang demikian itu dinamakan kapitalisme moderen.

Kapitalisme moderen itu berkembang terus, karena nafsu untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya itu tidak dapat dipuaskan. Itulah sebabnya bahwa modal yang telah terkonsentrasi atau tersentralisasi itu melebarkan sayapnya, meninggalkan negeri tempat pertumbuhannya, menuju ke negeri-negeri yang dianggapnya baik dan subur untuk memberikan keuntungan besar lagi kepada kapitalisme itu.

Kapitalisme yang telah “sangat matang” demikian itu kalau datang disuatu negeri lain untuk menanam modalnya disana sudah barang tentu terus berusaha untuk menyelamatkan maksudnya untuk memenuhi kehausan akan keuntungan sebesar-besarnya itu dan dengan macam-macam bermuslihat untuk dapat menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa atau negeri lain yang jadi sasarannya sehingga modal yang ditanamnya itu dapat bekerja dan berkembang dengan aman.

Maka nafsu atau sistem imperialisme itu ialah kolonialisme, yaitu imperialisme yang tidak saja menguasai ekonomi tapi juga politik dari negeri lain.

Imperialisme yang tumbuh dari kapitalisme moderen itu ialah imperialisme moderen pula.

Didalam bentuk kolonialisme maka imperialisme itu tidak saja menguasai atau mempengaruhi tetapi ia juga merajai dan mengendalikan ekonomi dan politik bangsa dan negeri lain.

Adapun cara imperialisme untuk menguasai bangsa dan negeri lain itu tidak saja dengan kekerasan senjata, tetapi sering dengan cara “halus-halusan” atau menyeludup dengan damai (penetration pacifique).

Dapatlah dimengerti bahwa tujuan imperialisme untuk merajai dan mengendalikan ekonomi bangsa dan negeri lain itu dapat tercapai dengan mutlak kalau ia juga menguasai bangsa dan negeri lain itu secara politis.

Demikianlah itulah yang terjadi kalau penguasaan imperialisme berbentuk kolonialisme.

Dari uraian diatas ini dapat diambil kesimpulan bahwa imperialisme dan kolonialisme itu adalah kelanjutan daripada kapitalisme, atau dengan lain perkataan, imperialisme dan kolonialisme adalah anak kapitalisme. Ciri daripada kapitalisme oleh karenanya melekat pada imperialisme dan kolonialisme.

Ciri yang pokok ialah mencari atau lebih tepat mengeduk rejeki atau keuntungan sebesar-besarnya dengan menguasai dan menghisap bangsa dan negeri lain.

Imperialisme dan kolonialisme sebagai suatu sistem dijalankan oleh orang-orang dan penghisapan itupun dijalankan oleh orang-orang atas orang-orang pula.

Maka ciri yang paling jahat daripada sistem tersebut dan daripada sistem kapitalisme ialah penghisapan oleh manusia atas manusia itu, atau dalam bahasa asing: “I exploitation de l’homme par l’homme”.

IMPERIALISME DI INDONESIA

Indonesia mulai dipengaruhi dan kemudian dikuasai oleh imperialisme Barat pada umumnya mulai pada permulaan abad ke-18 dan oleh imperialisme Belanda khususnya pada permulaan abad ke-17.

Pada waktu itu imperialisme Barat yang datang di tanah air kita belum bersifat imperialisme moderen, tetapi ia masih ada didalam tarap imperialisme kuno, karena pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 industri di negeri-negeri Barat belum maju, konsentrasi kapital atau akumulasi kapital belum berkembang. Dari sebab itu bisa dikatakan bahwa kapitalisme di negeri-negeri Barat itu masih bertarap kapitalisme kuno.

Namun demikian tujuan daripada imperialisme kuno itupun pada hakekatnya adalah sama saja dengan yang moderen, yaitu mencari untuk sebesar-besarnya bagi diri sendiri.

Pada waktu itu barang-barang yang dapat menghasilkan keuntungan besar di pasaran negeri-negeri Barat ialah barang-barang yamg didatangkan dari negeri-negeri di Asia, baik yang berupa hasil karya tangan bangsa-bangsa Asia, seperti kain sutera, permadani dan intan mutu manikam, maupun yang berupa hasil-hasil bumi benua Timur seperti rempah-rempah yaitu lada, pala, kayu manis, cengkeh, dan lain sebagainya.

Itulah sebabnya bahwa saudagar-saudagar kaya di negeri-negeri Barat mengirimkan kapal-kapal berlayar mengarungi samudera-samudera raya untuk “mengulak” barang-barang tersebut diatas tadi yaitu dari negeri-negeri Asia.

Begitulah orang-orang Portugis, orang-orang Inggris dan orang-orang Belanda datang di kepulauan Indonesia dengan maksud dan tujuan yang sama. Mereka datang untuk memenuhi nafsu kapitalisme kuno yaitu untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya juga. Kapitalisme kuno yang demikian itu bersifat perdagangan, jadi bisa dikatakan bahwa Kapitalisme Belanda pun bersifat kapitalisme perdagangan.

Kapitalisme-kapitalisme kuno Barat itu setelah datang di negeri kita meneruskan pula mereka punya perjuangan persaingan supaya memperoleh monopoli dalam “mengkulak” dan mengangkut barang-barang hasil karya tangan dan terutama rempah-rempah hasil bumi Indonesia ke negerinya masing-masing.

Didalam perang persaingan itu akhirnya kapitalisme kuno Belandalah yang menang. Dengan kemenangan itu Belanda lantas dapat menghadapi bangsa Indonesia dengan perhatian yang lebih besar, lebih giat dan lebih kejam lagi.

KEADAAN MASYARAKAT INDONESIA

Bagaimanakah keadaan masyarakat Indonesia pada waktu bangsa kita berhadapan muka dengan kapitalisme kuno Belanda itu?

Apakah pada waktu itu tarap kebudayaan kita lebih rendah daripada kebudayaan bangsa-bangsa Barat yang mendatang itu ?

Tidak ! Pada waktu itu bangsa Indonesia telah mempunyai susunan ketatanegaraan yang telah berjalan berabad-abad lamanya. Organisasi perdagangan kitapun sudah maju. Armada perdagangan Indonesia sudah terkenal di seluruh Asia.

Organisasi dan kekuatan militer kitapun tidak terbelakang. Tetapi kelemahan itu disebabkan karena bangsa Indonesia sudah mulai pada abad ke-15 terpecah-belah menjadi beberapa kesultanan kecil-kecilan, yang satu dengan yang lainnya bersengketa dan berperang.

Kemegahan Majapahit sudah runtuh, karena dengan meninggalnya Sang Patih Gajah Mada, hilanglah pula kekuasaan dan kewibawaan pusat pemerintahan feodalisme yang dahulu dapat mempersatukan wilayah dan bangsa kerajaan Majapahit.

Proses keruntuhan itu dipercepat lagi ketika sultan-sultan di daerah pantai-pantai pulau Jawa dan luarnya satu demi satu memeluk agama Islam dan dengan demikian memperkuat kedudukan mereka terhadap kekuasaan raja di pusat yang masih beragama Hindu.

Demikianlah timbul pemberontakan-pemberontakan dan peperangan silih berganti, tidak ada henti-hentinya sehingga penderitaan Rakyat makin lama makin besar. Keamanan dalam negeri tidak ada dan ekonomi Rakyat morat-marit.

Keadaan demikian itu berlangsung juga setelah Majapahit runtuh (1847) dan Demak menjadi kerajaan terkemuka di pulau Jawa. Situasi di pulau-pulau luar Jawa hampir sama saja. Peperangan dan perpecahan seolah-olah menjadi kebiasaan dan Rakyat sangat menderita oleh karenanya.

Didalam keadaan demikian itulah bangsa kita menghadapi kedatangan kapitalisme kuno dari Barat itu.

Pada permulaan konfrontasi dengan kapitalisme kuno Barat itu memang bangsa kita tidak menyerah dengan mudah begitu saja, karena mula-mula orang Barat itu datangnya sebagai pedagang-pedagang yang hendak membeli rempah-rempah dari kita. Tetapi lambat laun mereka datang dengan armada yang bersenjata dan dimulai juga campur tangan dalam urusan medalam negeri kita yaitu dengan menyalahgunakan pertentangan-pertentangan antara kita dengan kita untuk mengadudomba kerajaan-kerajaan yang sedang bermusuhan itu.

Pada waktu perkembangan itu terjadi, yaitu pada permulaan abad ke-17, kapitalisme kuno Belanda telah berhasil memperkuat diri dalam satu kongsi besar dengan maksud untuk menghilangkan persaingan antara mereka sendiri dan memperoleh monopoli dagang di kepulauan Indonesia. Kongsi besar Belanda dinamakan Verenigde Oost Indische Compagnie atau VOC (1602).

Dipihak kita baru pada tahun 1613 nampak suatu kekuasaan yang kira-kira sanggup mencegah perkembangan kekuasaan VOC yang makin lama makin menjadi kuat.

Pada tahun 1613 itu naik tahtalah Sultan Agung Hanjarakusuma sebagai Sunan kerajaan Mataram.

Politik Sultan Agung bertujuan untuk berkuasa atas seluruh tanah jawa dan dengan demikian dapat menguasai juga gerak-gerik VOC. Politik yang demikian itu dijalankannya dengan mematahkan perlawanan yang datang dari bupati-bupati daerah-daerah pesisir. Tetapi Sultan Agung dalam menjalankan politiknya itu membutat kesalahan yang bagi sejarah Indonesia berakibat jelek sekali.

Didalam menaklukkan bupati-bupati daerah pesisir itu Sultan Agung juga menghancurkan kekuatan laut mereka, sehingga ketika ia berhasil menegakkan kekuasaannya di daerah yang meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka kerajaan Mataram tidak mempunyai kekuasaan di laut, tidak menjadi suatu kekuasaan maritim, melainkan menjadi kerajaan yang semata-mata agraris belaka. Padahal waktu itu musuh kita yaitu kapitalisme Belanda yang telah menjadi Imperialisme, merupakan suatu kekuatan maritim yang tidak boleh diremehkan.

Itulah sebabnya bahwa penyerangan Mataram melawan benteng pertahanan Belanda di “Batavia” sampai dua kali (1628 dan 1629) gagal semua. Kekalahan Sultan Agung itu disebabkan karena Mataram tidak mempunyai angkatan laut yang kuat dan jarak garis perbekalan angkatan daratnya terlampau panjang dan sukar.

Maka dengan kegagalan Sultan Agung itu kedudukan imperialisme Belanda makin menjadi kuat, apalagi ketika pada tahun 1641 Malaka direbutnya dari tangan Imperialisme Portugis. Semua itu dijalankan untuk menegakkan dan memperkuat monopolinya.

Kekerasan, paksaan dan tipu muslihat dijalankan oleh VOC supaya rempah-rempah hanya dijual kepadanya. Ia tidak saja hendak bermonopoli membeli dengan harga murah rempah-rempah itu dari Rakyat, tetapi hendak berkuasa pula dalam menentukan harganya menurut kemauan sendiri.

Apabila harga rempah-rempah di pasar Eropa turun karena kebanyakan rempah-rempah yang dijual disana, maka VOC memaksa pemilik kebun-kebun rempah-rempah di Indonesia untuk merusak tanaman-tanamannya (hongi tochten). Bangsa kita yang tidak mau tunduk pada perintah VOC itu disiksa atau dibunuh, atau dibuang ke lain tempat untuk dijadikan budak pada Belanda.

Seratus lima puluh tahun lamanya VOC menjalankan kekejaman dan pemerasan terhadap Rakyat Indonesia itu. Untuk menjalankan politik yang kejam itu, VOC mempergunakan organisasi feodalisme Indonesia. Pegawai-pegawai feodalisme dari yang paling tinggi sampai pada yang paling rendah diturut sertakan sebagai kaki tangan VOC untuk menindas dan memeras Rakyat.

Persaingan yang mula-mula datang dari kaum pedagang-pedagang Indonesia sudah dihancurkan sama sekali. Kaum hartawan Indonesia itu tidak pernah dapat berkuasa dalam arti kata politik di Indonesia, karena didalam tata masyarakat feodalisme di Indonesia kaum pedagang itu tidak dihargai terlampau tinggi kedudukannya. Jadi sebelum golongan pedagang itu, yang makin lama makin menjadi kuat kedudukannya, dapat merebut kekuasaan dari kaum feodal, maka sudah dihapuskan atau paling sedikit diperlemah sama sekali oleh pukulan-pukulan imperialisme Belanda.

Maka perkembangan masyarakat di Indonesia berjalan lain daripada misalnya di Perancis, dimana “golongan menengah” dapat menjadi kuat dan kemudian didalam revolusi besar berhasil menumbangkan kekuasaan feodalisme dan menggantinya dengan kekuasaan borjuis di negerinya.

Itulah sebabnya bahwa di Indonesia tidak tumbuh suatu kelas borjuis yang berkuasa. Kekuasaan feodalismepun sudah lumpuh dan oleh imperialisme Belanda hanya dijadikan sebagai kaki tangannya untuk menindas dan memeras Rakyat Indonesia.

Berhubung dengan perubahan-perubahan dan perkembangan politik di Eropa Barat pada pertengahan abad ke-18 yang menjalar pula di negeri Belanda (ingatlah revolusi besar di negeri Perancis), maka pada akhir tahun 1799, VOC dihapuskan dan segala kekayaan dan miliknya diambil alih oleh Pemerintahan Belanda yang pada waktu itu dinamakan pemerintahan Hindia Belanda. Pengambilalihan itu disebabkan pula karena makin VOC menjadi besar dan berkuasa, makin merajalela korupsi dianatara pegawai-pegawainya, sehingga keuntungan menjadi tipis.

Maka semenjak abad ke-18 itu imperialisme Belanda menjelma dalam bentuknya yang baru yaitu sebagai kolonialisme dan dalam arti politik tanah air kita jadi tanah jajahan negeri Belanda.

Pada akhir abad ke-18 Eropa Barat mengalami pergolakan-pergolakan yang hebat. Revolusi besar meledak di Perancis yang mempengaruhi seluruh tubuh masayarakat Barat.

Kekuasaan borjuis tumbuh dimana-mana dengan kuat dan berhasil meruntuhkan kekuasaan feodalisme.

Disamping peristiwa yang menggemparkan dunia itu, terjadilah revolusi lain yang berlangsung di negeri Inggris, yaitu yang dalam sejarah dunia terkenal dnegan nama Revolusi Industri (Industrial Revolution), ketika mesin uap diketemukan oleh James Watt (1769). Mesin uap inilah yang merubah secara radikal sistem produksi barang-barang.

Sejak waktu itulah dapat dikatakan bahwa kapitalisme kuno berkembang denngan cepat menjadi kapitalisme moderen yang memungkinkan terjadinya akumulasi kapital dan sentralisasi kapital seperti yang diuraikan diatas tadi. Dengan perekembangan kapitalisme moderen itu maka tumbuhlah pula imperialisme moderen.

Indonesia tidak luput kena pengaruh dari perubahan-perubahan hebat di Eropa Barat. Tetapi pengaruh itu tidak datang sebagai cita-cita atau gagasan-gagasan yang baru dan manfaat bagi Rakyat, melainkan sebagai kekejaman-kekejaman dan pemerasan-pemerasan baru dari imperialisme Belanda.

Kalau di jaman VOC Rakyat Indonesia selama 150 tahun sudah menderita bermacam-macam kekejaman dari “hongi tochten” (Maluku), yaitu perusakan kebun-kebun rempah-rempah Rakyat, penyiksaan, pembuangan, pemerasan sampai pada pembunuhan, maka imperialisme Belanda pada pokoknya ialah sama saja dengan politik imperialisme kuno VOC, yaitu menguasai bangsa Indonesia dengan memakai cara “devide et impera” lewat kaum feodal sebagai kaki tangannya, supaya dengan demikian dapat dengan mudah dan murah mengeduk dan memompa kekayaan Indonesia guna keuntungan kaum kolonialis Belanda sendiri.

Kita masih ingat pada kekejaman Gubernur Jenderal Daendels dengan ia punya sistem kerja paksa atau “kerja rodi” yaitu memaksa Rakyat kita untuk bekerja tanpa bayaran, ketika Gubernur Jenderal itu membuat jalan pos raya dar Anyer sampai Panarukan, kurang lebih 1000 km panjangnya.

Tentu saja jalan pos raya itu dibuatnya tidak untuk kepentingan Rakyat, melainkan untuk kepentingan militer imperialisme Belanda yang merasa kedudukannya di Indonesia terancam oleh imperialisme-imperialisme lainnya, terutama Inggris.

Lain daripada itu Daendels-lah juga yang menjual tanah Rakyat kepada orang-orang kaya asing partikelir dan tanah-tanah itu menjadi “tanah-tanah partikelir” yang menambah beban dan penderitaan bagi Rakat.

Setelah Daendels berhenti pada tahun 1811 maka negeri kita diserbu oleh imperialisme Inggris yang berhasil mengalahkan Belanda dan menduduki Indonesia dari tahun 1811 sampai 1816 dibawah pimpinan Raffles.

Dibawah penjajahan Inggris itu ditambah lagi penderitaan Rakyat kita, antara lain dengan peraturan-peraturan pajak tanah yang dikeluarkan oleh Raffles itu. Pajak tanah yang dinamakan “landrent” itu sangat berat bagi Rakyat.

Begitulah terus-menerus Rakyat Indonesia ditindas dan diperas karena sesudah tanah air kita diserahkan kembali kepada imperialis Belanda lagi. Datanglah kekejaman baru menimpa Rakyat kita. Tanam paksa atau “cultuurstelsel” merajalela dan oleh karenanya, pengedukan dan pemompaan kekayaan Indonesia dijalankan terus dengan keras lagi.

Lain dariapada itu kemudian imperialisme Belanda di Indonesia menjalankan politik baru yang dinamakannya “opendeur politiek” yaitu politik pintu terbuka yang memungkinkan modal-modal Inggris, Amerika, Belgia, Jepang, dan lain-lain masuk di Indonesia untuk turut mengeduk kekayaan negeri dan memeras tenaga Rakyat Indonesia untuk keuntungan modal-modal asing itu sendiri, sehingga sejak dijalankannya “opendeur politiek” itu, imperialisme di Indonesia jadi internasional oleh karenanya.

Untuk menggambarkan sedikit tentang besarnya modal kapitalisme asing yang dijadikan alat eksploitasi kekayaan nasional kita, dapat dikemukakan disini bahwa sampai pada kira-kira tahun 1930, Belanda saja mempunyai lebih dari 4.000 juta gulden (rupiah Belanda), sedang semua modal asing berjumlah kurang lebih dari 6.000 juta gulden !

Kalau dipikirkan bahwa modal yang begitu besarnya itu menelurkan keuntungan rata-rata sepuluh persen setahun, maka dapat dimengerti betapa hebatnya penghisapan kapitalisme internasional itu terhadap Rakyat Indonesia.

Perkembangan kapitalisme dan imperialisme yang makin lama makin memperkaya bangsa-bangsa asing, tetapi makin memelaratkan dan menambah penderitaan Rakyat Indonesia dengan begitu kasar dan menyolok mata itu, menyebabkan beberapa orang Belanda yang progresip mengeluarkan protesnya terhadap perkosaan perikemanusiaan oleh politik imperialisme Belanda di Indonesia, didalam tulisan-tulisan yang tajam.

Misalnya Douwes Dekker didalam bukunya “Max havelaar” dan Van Deventer dengan ia punya tuduhan bahwa pemerintah Belanda mempunyai “ereschuld” (hutang kehormatan) kepada Rakyat Indonesia.

Suara-suara protes itu menimbulkan kehebohan di negeri Belanda dan pendapat umum banyak dipengaruhi oleh karenanya.

Itulah salah satu sebab mulai dijalankan oleh imperialisme Belanda “etische politiek” (politik perikemanusiaan) yang pada umum disajikan sebagai suatu politik yang bermaksud memperhatikan dan memperbaiki nasib Rakyat Indonesia.

Tetapi politik itu yang terprogram dalam tiga usaha, yaitu edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (pemindahan penduduk) pada hakekatnya dijalankan untuk kepentingan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia semata-mata.

Sebab meningkatnya kegiatan modal asing memerlukan selain banyak pekerja biasa juga banyak tenaga menengah yang terdidik tapi murah. Itulah sebabnya bangsa kita diberi sekolah-sekolah yang maksudnya tidak lain ialah mendidik pemuda-pemuda kita menjadi buruh-buruh pandai dan murah untuk perusahaan-perusahaan asing.

Memajukan pengairan itu juga diperlukan untuk meningkatkan produksi perusahaan-perusahaan perkebunan-perkebunan asing, terutama industri gula, sedangkan transmigrasi dijalankan untuk keperluan tenaga murah perusahaan-perusahaan perkebunan asing di daerah luar jawa yang berkembang dengan cepat.

Pendek kata “etische politiek” itu hanya merupakan suatu cara caru untuk meneruskan eksploitasi atas Rakyat Indonesia dengan lebih halus dan lebih sempurna. Itu dapat dibuktikan dengan angka-angka yang berbicara secara jelas bahwa keuntungan imperialisme di Indonesia makin lama makin naik.

Didalam tahun 1880 kelebihan eksport sudah sebesar 25.000.000 gulden dan didalam tahun 90-an sudah menjadi 36.000.000 gulden sedangkan pada akhir abad ke-19 sudah meningkat sampai 45.000.000 gulden dan didalam tahun 1919 sudah membumbung menjadi 1.426.000.000 gulden.

Bagaimanakah keadaan Rakyat ? Kemelaratan makin merosot. Hidupnya hanya dinilai rata-rata dari 2,5 sen sehari buat tiap-tiap orang. Indonesia telah menjadi “bangsa yang terdiri dari kuli-kuli dan bangsa kuli diantara bangsa-bangsa lain”.

Lihatlah saja dari daftar-daftar statistik Belanda! Rakyat pendapatannya setahun rata-rata 100 gulden dan dari pendapatannya yang sedikit itu harus membayar 10 % sedang Belanda baru kena pajak 10% itu kalau ia berpendapatan tidak kurang dari 8.000 atau 9.000 gulden setahun. Toh Rakyat harus membayar pajak istimewa yang pada tahun 1919 sudah mencapai jumlah 86.900.000 gulden, tetapi dibawah pemerintahan Gubernur Jenderal Bosch masih dinaikkan lagi sampai 173.400.000 gulden setahunnya.

Lain daripada itu pendidikan Rakyat itu tidak diperdulikan. Sesudah penjajahan sekian tahun lamanya, orang laki-laki yang melek huruf baru ada 7% dan orang perempuan belum ada ½% !

Sama saja halnya dengan perhatiannya terhadap kesehatan Rakyat. Diseluruh Indonesia hanya ada 345 rumah sakit pemerintah. Kematian bangsa kita setiap tahun rata-rata ada 20% dan di kota-kota besar meningkat sampai 30, 40, sampai 50%.

Demikianlah beban penderitaan Rakyat didalam kehidupannya materil dan spirituil. Rakyat kita hanya mengenal beban-beban dan kewajiban-kewajiban yang berat-berat saja. Rakyat tidak mempunyai hak. Hak-hak tidak diberikan kepadanya, karena yang dinamakan hak-hak oleh imperialisme pada hakekatnya ialah peraturan-peraturan yang maksudnya untuk memperkuat posisi penguasaan kolonialisme belaka.

Itulah sebabnya bahwa didalam jaman imperialisme masih merajalela di tanah air kita, ketidakadilan merajalela pula disegala bidang. Dimana-mana dilakukan diskriminasi, dibidang politik, dibidang ekonomi dan dibidang sosial.

Didalam kehidupan yang begitu tertindas itulah Rakyat kita seolah-olah sudah kehilangan darah dan kehilangan dagingnya.

Tata kemasyarakatannya sudah dirusak oleh kekuasaan imperialisme asing. Organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga kenegaraan dan perniagaannya telah dipatahkan sama sekali atau kalau masih ada sisa-sisanya maka itupun diperlemah sedemikian rupa sehingga dapat diperalat untuk kepentingan imperialisme Belanda.

Tentulah keruntuhan disegala bidang itu menyebabkan terhentinya perkembangan kebudayaan kita pula.

Pimpinan bangsa kita yang dahulu terletak ditangan kaum bangsawan feodalisme sudah musnah pula, karena mereka itu sudah dijadikan alat imperialisme asing untuk mengeduk kekayaan bangsa kita dengan mempergunakan tenaga Rakyat dengan murah.

Maka tidak mengherankanlah bawa bangsa kita yang dipecah belah dan diadu dombakan oleh imperialisme Belanda itu lama-lama kehilangan rasa kebangsaannya dan kehilangan rasa menghargai diri sebagai bangsa.

Rasa takut dan rasa lebih rendah daripada bangsa lain (infuriority complex) berjangkit dalam jiwa bangsa kita. Semangatnya menjadi lembek dan cita-citanya tidak dapat lebih tinggi daripada menjadi “ambtenaar” atau “priyayi” daripada imperialisme Belanda.

Dari uraian diatas ini dapatlah dirumuskan empat pokok urat syaraf sistem imperialisme yang terpenting, yang menyebabkan penderitaan Rakyat Indonesia, yaitu:

1. Sistem imperialisme melahirkan politik devide et impera (memecah belah dan menguasai);

2. Sistem imperialisme menetapkan Rakyat Indonesia didalam kemunduran;

3. Sistem imperialisme membangun kepercayaan didalam hati dan pikiran Rakyat, bahwa bangsa kulit berwarna memang bangsa yang “karatnya” dan bahwa bangsa kulit putih memang yang terluhur diantara bangsa-bangsa;

4. Sistem imperialisme membangun kepercayaan dalam hati dan pikiran Rakyat, bahwa kepentingan Rakyat adalah sesuai dan sama dengan kepentingan kaum imperialisme, sehingga Rakyat tidak menjalankan politik selfhelp dan politik ingin merdeka, tetapi haruslah memeluk politik bersatu dengan kaum yang dipertuan, yakni politik assosiasi.

PERGERAKAN KEMERDEKAAN RAKYAT INDONESIA

Timbullah sekarang pertanyaan, apakah dalam keadaan Rakyat Indonesia yang sudah kehilangan segalanya dan seolah-olah sudah setengah mati kehidupannya itu, masih dapat bereaksi terhadap penindasan imperialisme ?

Pertanyaan itu tidak dapat dijawab lain daripada : dapat, karena sudah menjadi hukum alam dan hukum sejarah bahwa tiap kekejaman penindasan itu lekas atau lambat pasti akan menimbulkan perlawanannya, yaitu kehendak untuk melepaskan diri dari kekejaman penindasan.

These kekejaman penindasan imperialisme membangitkan anti thesenya, yaitu perlawanan terhadap imperialisme itu. Dari pertentangan dan perlawanan antara these dan anti these itu menurut hukum dialektika pasti akan lahir sesuatu yang lebih baik dan sempurna daripada yang dilawan itu.

Semangat perlawanan itu memang sudah ada didalam tubuh Rakyat kita, ia sudah beberapa kali meletus lkeluar sebagai pemberontakan-pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Nama-nama pahlawan-pahlawan Nasional, pemimpin-pemimpin pemberontakan-pemberontakan itu seperti Sultan Agung Hanyarakusuma, Untung Surapati, Imam Bonjol dan Diponegoro masih tetap terrulis dengan tinta emas didalam buku sejarah bangsa Indonesia.

Tetapi pemberontakan-pemberontakan itu semua digagalkan oleh kekuatan imperialisme, karena belum merupakan perlawanan yang bersandarkan kekuatan massa Rakyat dan suatu asas yang prinsipil.

Baru pada permulaan abad ke-20 mulai timbul pergerakan yang meskipun masih dengan ragu-ragu atau instinkip bersandar atas kehendak Rakyat seperti digambarkan diatas.

Memenag barangkali pada waktu itu jamannya sudah matang dan saatnya sudah tiba bagi Rakyat-rakyat terjajah dan tertindas untuk bangkit melawan imperialisme, karena tidak saja di Indonesia, melainkan diseluruh Asia kebangkitan itu timbul. “Strum uber Asien” (taupan diatas Asia) sudah mulai menderu-deru. Di Jepang meriam sudah mendentum-dentum menghantam dan menghancurkan kemegahan kekuasaan Tsar imperium Rusia. Di Tiongkok Rakyat dibawah pimpinan dr. Sun Yat Sen meruntuhkan kekuasaan kaisar feodalisme dan imperialisme asing, dan diatas puing-puingnya mendirikan Tiongkok Baru (1912).

Angin taupan dari Asia itu seolah-olah menderu-deru juga diatas tanah air kita, menyentuh semangat perlawanan yang sedang bangkit diantara Rakyat Indonesia. Budi Utomo lahir. Serikat Dagang Islam tidak lama kemudian menyusul. Segera muncul pula National Indische Partij dan begitu seterusnya berturut-turut tumbuh pergerakan Rakyat, makin lama makin besar dan makin hebat mengutarakan amanat penderitaan Rakyat.

Urat syaraf anti these makin menjadi-jadi.

Imperialisme Belanda menjadi khawatir dan “mengambil tindakan-tindakan” untuk mematahkan kebangkitan nasional itu. Lapangan pergerakan Rakyat dipersempit dan dipersukar. Pemimpin-pemimpin pergerakan ditangkapi, dihukum dan diasingkan.

Tetapi kehendak Rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan imperialisme yang sudah sangat sekali bangkit itu tidak mungkin dibendung dan dimatikan.

Apakah yang menjadi kekuatan pergerakan Rakyat yang demikian itu ?

Tidak lain tidak bukan ialah nasionalisme.

Nasionalisme atau kebangsaan timbul daripada perasaan suatu bangsa yaitu suatu golongan manusia bahwa mereka itu mempunyai “kehendak untuk bersatu”, karena mereka bersama mengalami nasib yang sama dalam sejarahnya, sehingga merupakan “satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib” itu dan hidup disuatu wilayah dimuka bumi ini dimana mereka oleh Yang Maha Kuasa dikodratkan bertempat tinggal.

Jadi bangsa itu tidak saja timbul dari “le desir d’etre ensemble” (kehendak untuk bersatu-Ernest Renan) atau terjadi “aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” (satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (Otto Bauer), tetapi harus mempunyai tanah air juga.

Nasionalisme sebagai faktor kekuatan didalam pergolakan dunia menjadi tegas didalam abad ke-20 sebagai penjelmaan daripada “verzet van verdrukte elementen” melawan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Terutama di Asia ketegasan itu mencolok sekali.

Dari sebab itu, dapat dikatakan bahwa abad ke-20 itu ialah abad nasionalisme yang bertujuan menghapuskan imperialisme kolonialisme untuk dapat membentuk masyarakat baru, yaitu masyarakat sosialis.

Nasionalisme bangsa Indonesia ini bukanlah nasionalisme jaman lampau, bukanlah nasionalisme feodal atau nasionalisme kederahan, melinkan nasionalisme moderen yang lahir didalam jaman baru pula, yaitu pada permulaan abad ke-20.

Tetapi Rakyat Indonesia yang sudah bergerak pada waktu itu belum dapat memformulir secara tegas makna dan tujuan daripada nasionalisme Indonesia itu. Baru pada pertengahan tahun 1927 datanglah ketegasan itu.

MARHAENISME DAN PARTAI NASIONAL INDONESIA

Ketegasan formulasi daripada asas dan cara perjuangan Rakyat Indonesia untuk mencapai tujuannya, datang dengan lahirnya Marhaenisme dan PARTAI NASIONAL INDONESIA pada tanggal 4 Juli 1927.

Lahirnya ialah dalam waktu ketika pergerakan kemerdekaan nasional kita seolah-olah telah dilumpuhkan oleh imperialisme Belanda yang setahun sebelum itu berhasil menggagalkan pemberontakan kaum komunis dengan kekerasan senjata.

Dalam pada itu pergerakan kemerdekaan nasional seluruhnya karena tindakan-tindakan keras Belanda itu, karena pemimpin-pemimpin baik nasionalisme maupun Islampun dicurigai, dipersempit gerak-geriknya ditangkapi, dihukum dan digulkan pula.

Dengan mempergunakan cara dialektika Marxisme, Bung Karno yang pada waktu itu tampil kemuka, menemukan bahwa dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan imperialisme didunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Rakyat Indonesia hanya dapat menghentikan penderitaannya yang telah dipikulnya berabad-abad lamanya itu, kalau Rakyat kita menghapuskan sebab pokok daripada penderitaan Rakyat itu, ialah imperialisme dan kolonialisme.

Imperialisme itu hanya dapat ditumbangkan dengan perlawnan oleh Rakyat yang dideritakan olehnya. Oleh karena imperialisme dapatnya menguasai dan menderitakan Rakyat Indonesia ialah dnegan kekuasaan, maka kekuatan imperialisme itu hanya dapat dipatahkan dengan kekuatan Rakyat pula.

Itulah sebabnya bahwa Rakyat didalam perjuangannya melawan imperialisme itu, harus membentuk kekuatan didalam suatu organisasi yang kuat. Nyawa daripada pembentukan kekuatan Rakyat itu adalah Nasionalisme.

Jadi teranglah bahwa di Indonesia ada keharusan pertentangan antara dua kekuatan pokok, tetapi pertentangan itu bukanlah terutama pertengan kelas, yaitu antara kelas buruh dan kelas borjuis (kapitalis) seperti di Eropa Barat, melainkan pertentangan anara si terjajah dan si penjajah atau antar Rakyat Indonesia yang menderita terhadap imperialisme yang menyebabkan penderitaan Rakyat itu.

Disinilah letaknya ciri khusus bagi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu pertentangan yang prinsipil antara Rakyat Indonesia sebagai keseluruhan terhadap imperialisme Belanda khususnya dan imperialisme pada umumnya, atau dengan lain perkataan nasionalisme lawan imperialisme.

Tetapi nasionalisme itu bukanlah nasionalisme yang instinktip, melainkan nasionalisme yang sadar, bukan yang satis tetapi dinamis, pendek kata bukan nasionalisme yanng negatif tetapi nasionalisme yang positif revolusioner.

Nasionalisme yang sadar berarti nasionalisme yang sadar akan keadaan masyarakat yang kocar-kacir dan menderita karena penindasan imperialisme dan oleh karenanya pula sadar akan keharusan menentang imperialisme itu dan meruntuhkannya, supaya diatas puing-puingnya dapat didirikan suatu masyarakat baru dimana Rakyat dapat hidup tanpa penderitaan didalam keadilan dan kemakmuran yang merata.

Jadi nasionalisme yang demikian itu berdasarkan asas perikemanusiaan. Ia tidak mengagung-agungkan bangsa sendiri terhadap bangsa-bangsa lain, ia tidak membenci dan mendendam terhadap sesama bangsa, pendek kata nasionalisme kita bukan chauvinisme atau jingo nasionalisme, melainkan nasionalisme yang sadar akan keharusan adanya masyarakat adil dan makmur, serta bersandarkan atas asas perikemanusiaan.

Nasionalisme yang demikian itu oleh karenanya oleh Bung Karno dinamakan Sosio Nasionalisme.

Didalam segi politiknya sosio nasionalisme enghendaki suatu alat yang sakti untuk dapat mendirikan masyarakat adil dan makmur didalam negerinya sendiri.

Alat sakti itu ialah “Indonesia Merdeka, yang berbentuk bukan sebagai negara kerajaan feodal yang terpecah belah, melainkan sebaai negara Republik Kebangsaan dan Kesatuan, yang wilayah kedaulatannya meliputi daerah yang dikuasai imperialisme kolonial Belanda, yaitu bekas Nederlands Oost Indie, dari Sabang sampai ke Merauke.

Sosio Nasionalisme menimbulkan suatu keharusan lain untuk dapat mencapai tujuannya terakhir, yaitu masyarakat yang adil dan makmur bersih dari kapitalsime, imperialisme dan kolonialisme.

Didalam masyarakat demikian itu tidak akan tercapai keadilan dan kemakmuran, apabila Rakyat banyak tidak turut serta membangunnya disegala bidang.

Sistem imperialisme mengenai juga prinsip mengikutsertakan Rakyat itu, tetapi hanya didalam bidang politik saja dengan maksud untuk tetap dapat mempertahankan sistem kapitalismenya. Itulah yang dinamakan prinsip demokrasi politik atau demokrasi parlementer liberal.

Tetapi didalam prakteknya demokrasi politik itu yang dalam teorinya berdasarkan persamaan hak bagi semua orang, ternyata bagi kaum tertindas hanya merupakan persamaan hak untuk memilih wakil-wakil buat lembaga-lembaga politik dalam negeri.

Oleh karena yang berkuasa adalah kaum modal maka mereka tentu saja dapat membiayai pemilihan wakil-wakil itu didalam badan-badan politik tadi mempertahankan kepentingan kapitalisme.

Oleh karena itu didalam bidang sosial ekonomi tetap ada persamaan dan keadilan. Kaum kapitalis tetap kaya dan menjadi lebih kaya lagi, sedangkan Rakyat tetap miskin dan terus dimiskinkan.

Demokrasi politik yang demikian itu adalah demokrasi kapitalis atau demokrasi borjuis.

Demokrasi yang dikehendaki oleh sosio nasionalisme bukanlah demokrasi borjuis yang demikian itu, tetapi suatu demokrasi yang sadar akan keharusan bahwa didalam masyarakat adil dan makmur hanya kepentingan Rakyat semualah yang harus dibela dan dipenuhi.

Jadi demokrasi yang demikian itu tidak saja harus hidup dibidang politik, tetapi juga dibidang ekonomi dan bidang sosial. Dengan lain perkataan demokarsi demikian itu ialah demokarsi yang sadar akan keharusan terbentuknya masyarakat seperti diuraikan diatas tadi.

Demokrasi yang sadar seperti itu, oleh Bung Karno dinamakan sosio demokrasi.

Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa unsur yang terpenting didalam sosio nasionalisme dan sosio demokrasi itu ialah kepentingan Rakyat yang melarat, atau lebih tepat Rakyat yang dimelaratkan oleh imperialisme.

Rakyat yang dimelaratkan dan disengsarakan oleh imperialisme, leh Bung Karno dinamakan kaum Marhaen.

Oleh sebab itu ajaran yang bertujuan susunan negara dan masyarakat yang didalam segala halnya menghendaki menyelamatkan kaum Marhaen dinamakan MARHAENISME.

Jadi sosio nasionalisme itupun nasionalismenya kaum Marhaen. Begitupun juga sosio demokrasi adalah demokrasi kaum Marhaen.

Marhaenisme oleh karenanya adalah ajaran tata masyarakat politik, ekonomi, dan sosial yang revolusioner. Ia tidak menghendaki perbaikan masyarakat imperialisme kolonial secara tambal sulam artinya yang insidentil atau reformistis, tetapi Marhaenisme hendak membangun masyarakat baru sama sekali, yang bersih dari kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.

Jadi masyarakat lama itu yang bersandarkan atas kejaliman dan ketidakadilan harus dihapuskan dulu secara radikal (sampai pada akar-akarnya) supaya dapat didirikan masyarakat yang bersandar atas perikemanusiaan dan keadilan.

Itulah sebabnya Marhaenisme adalah revolusioner, karena ia menghendaki “Umgestaltung von Grund aus” (perubahan yang radikal) dan sudah sewajarnyalah bahwa ajaran yang revolusioner itu tidak boleh tidak harus anti kapitalisme, anti imperialisme dan anti kolonialisme.

CARA PERJUANGAN MARHAENISME

Dimuka sudah diuatarakan bahwa Marhaenisme bukan saja asas tetapi sekaligus juga cara perjuangan.

Itulah sebabnya bahwa bersama-sama dengan lahirnya Marhaenisme, lahirlah pula pergerakan Rakyat Marhaen dan kaum Marhaenis pada tanggal 4 Juli 1927, didalam bentuk suatu organisasi partai, ialah :

PARTAI NASIONAL INDONESIA

Untuk mengetahui siapakah yang disebut Marhaen dan siapakah yang dinamakan Marhaenis sudah ada definisi yang dirumuskan oleh Bung Karno sebagai berikut :

Kaum Marhaen ialah setiap Rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat lagi yang dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme, dan kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot bangsa yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen dan yang sama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme dan yang bersama-sama massa Marhaen mebanting tulang untuk membangun negara dan masyarakat yang kuat, bahagia sentausa, adil dan makmur.

Pokoknya ialah bahwa setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama dengan kaum Marhaen.

Maksud mendirikan PNI pada waktu itu ialah pertama-tama untuk membentuk kekuatan Rakyat kaum Marhaen dan Marhaenis sebagai alat guna meruntuhkan imperialisme di Indonesia, jadi sebagai penyusunan kekuatan anti these daripada lawan Rakyat Marhaen, yaitu imperialisme Belanda.

Jiwa daripada PNI yang dapat menggerakkan Rakyat membentuk kekeuatan (machtsvorming) terhadap imperialisme Belanda itu, ialah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi.

Sudah menjadi hukum dialektika pula bahwa partai yang revolusioner seperti PNI itu, harus menjalankan pertentangan erhadap empat rupa urat syaraf imperialisme seperti yang telah diterangkan diatas tadi.

Terhadap politik devide et impera, PNI menjawabnya dengan politik kontra devide et impera yaitu dengan politik persatuan nasional Indonesia.

Sistem imperialisme yang hendak menetapkan Rakyat Indonesia didalam kemunduran baik jasmaniah maupun rohaniah, dijawab oleh PNI dengan kontra politik sistem imperialisme yang demikian itu, yaitu dengan politik membangun usaha Rakyat sendiri dibidang ekonomi, misalnya dengan gerakan-gerakan koperasi, dan lain sebagainya.

Sedangkan dibidang mental PNI mengadakan pemberantasan buta huruf, mengadakan kursus-kursus dan perguruan-perguruan nasional.

Politik imperialisme menanam rasa rendah diri (inferiority complex) dalam hati dan pikiran Rakyat, kita jawab dengan politik kontra perasaan rendah diri itu, dengan menanam didalam hati Rakyat perasaan harga diri yaitu bahwa kita adalah bangsa yang pernah mempunyai sejarah dan kebudayaan yang gilang gemilang dan kalau diberi kesempatan pasti dapat menjadi besar dan jaya lagi.

Begitupun pula politik asosiasi dengan kaum imperialisme, kita jawab dengan politik kontra asosiasi, yaitu politik perlawanan terhadap imperialisme dengan menarik garis tegas antara kepentingan kaum imperialis dan kepentingan nasional Rakyat kita.

Sesudah Indonesia merdeka dan imperialisme Belanda sudah tak berkuasa lagi di tanah air kita, politik Marhaenisme (PNI) disesuaikan dengan keadaan baru.

Pertama-tama PNI menandaskan bahwa Indonesia Merdeka, yang oleh Bung Karno dilambangkan sebagai jembatan emas (dus sebagai alat) kearah suatu masyarakat yang adil dan makmur, harus dikonsolidasi dan disempurnakan, sehingga sebagai alat benar-benar menjadi kuat sentausa. Harus disempurnakan dengan dibebaskannya Irian Barat dari cengkeraman imperialisme kolonialisme Belanda.

Kedua PNI dengan konsekuen harus turut serta, ya malahan menjadi pelopor, dalam segala usaha, segala perjuangan untuk melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat supaya dengan demikian dapat lekaslah tercapai cita-cita bangsa kita, yaitu masyarakat adil makmur, masyarakat Marhaenis atau masyarakat sosialis Indonesia Pancasila.

Dalam pada itu PNI pun menginsyafi bahwa imperialisme kolonialisme belum lenyap dari muka bumi ini. Di negeri-negeri Asia-Afrika dan Latin Amerika, imperialisme itu muncul dalam baju baru sebagai neo kolonialisme. Itulah sebabnya PNI, sesudah Indonesia Merdeka, tetap secara konsekuen menentang imperialisme kolonialisme.

Adapun tugas PNI untuk menyadarkan Rakyat. Terutama Rakyat Marhaen, akan penderitaannya dan cara bagaimanakah dapat menghapuskannya, tetap dijalankan di jaman kemerdekaan ini juga.

MASSA AKSI

Maka politik anti these, politik konra imperialisme itulah yang menjadi jiwa dari pergerakan Rakyat didalam suatu massa aksi.

Masa aksi yang revolusioner berarti suatu aksi Rakyat yang “bergelombang-gelombang melimpahi seluruh negeri, membangkitkan seluruh energi Rakyat, mengelektrisir sekujur badan bangsa”, yang bersenjata semangat sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan berprogram empat politik anti these tadi serta program yang sudah disesuaikan dengan jaman sekarang. Massa aksi yang demikian itulah yang dapat membangkitkan desakan “kekerasan batin” (moral force) yang maha besar dan maha hebat sehingga tujuan Rakyat Marhaen pasti dapat tercapai !

Diatas sudah diterangkan bahwa kaum Marhaen ialah “setiap Rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat lagi yang dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme”.

Menurut kenyataan Rakyat Indonesia itu bagian terbesar terdiri atas kaum tani dan kaum buruh. Jadi Rakyat yang dimelaratkan oleh imperialisme kolonialisme itu ialah kaum buruh dan kaum tani.

Maka dari itu didalam massa aksi melawan imperialisme itu, kaum buruh dan kaum tani harus menjadi unsur-unsur terpenting dan yang paling revolusioner.

Itulah sebabnya bahwa didalam ajaran Marhaenisme, kaum buruh dan kaum tani menjadi tiang-tiang penting didalam perjuangannya.

Dari uraian diatas ini teranglah sekarang bahwa Marhaenisme adalah sekaligus asas dan cara perjuangan. Maka mengertilah kita sekarang makna daripada rumusan Marhaenisme yang oleh Bung Karno Bapak Marhaenisme diringkaskan sebagai berikut :

1. Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masayarakat dan negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.

2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.

3. Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan “tegelijk” menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.

4. Marhaenisme ialah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang sosial bewust pula.

Dari rumusan itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Marhaenisme itu adalah ajaran politik dan sosial yang revolusioner dan radikal. Oleh karenanya massa aksi Marhaenis adalah berpokok pada ke revolusioneran dan radikalisme itu.

Didalam bukunya “Mencapai Indonesia Merdeka”, Bung karno memberi penjelasan tentang arti massa aksi antara lain sebagai berikut :

“Bagaimana ‘ommekeer’ susunan sosial bisa terjadi ? Pertama-tama oleh kemauannya dan tenaganya masyarakat sendiri, oleh ‘immanente krachten’ daripada masyarakat sendiri, oleh “kekuatan-kekuatan rahasia” daripada masyarakat sendiri. Tetapi tertampak keluarnya, lahirnya, jasmaninya, oleh suatu pengerahan Rakyat jelata yang radikal, yakni oleh massa aksi. Tidak ada suatu perubahan besar didalam riwayat dunia yang akhir-akhir ini, yang lahirnya tidak karena massa aksi. Tidak ada transformasi di jaman akhir-akhir ini, yang zonder massa aksi adalah senantiasa menjadi penghantar pada saat masyarakat tua melangkah kedalam masyarakat yang baru. Massa aksi adalah senantiasa menjadi peraji (bidan) pada saat masyarakat tua yang hamil itu melahirkan masyarakat yang baru.”

Maka kitapun, bilamana kita ingin mendatangkan perubahan yang begitu maha besar didalam masyarakat sebagai gugurnya stelsel imperialisme dan kapitalisme, kitapun harus bermassa aksi. Kitapun harus menggerakkan Rakyat Jelata didalam suatu pengerahan radikal yang bergelombang sebagai banjir, menjelmakan pergerakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa aksi yang insyaf akan jalan dan maksudnya. Sebab, massa aksi bukanlah sembarangan pergerakan massa, bukanlah sembarangan pergerakan yang orangnya beribuan atau bermilyunan. Massa aksi adalah pergerakan massa yang radikal.

Dan massa aksi yang manfaat seratus persen hanyalah massa aksi yang bewust dan insyaf; oleh karena itu maka massa aksi yang manfaat adalah dus : suatu pergerakan Rakyat jelata yang bewust dan radikal.

Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang onbewust dan ragu-ragu dan raba-raba menjadi pergerakan yang bewust dan radikal ? Dengan suatu partai.

Dengan suatu partai yang mendidik Rakyat jelata itu kedalam kebewustan dan keradikalan. Dengan suatu partai, yang menuntun Rakyat jelata itu didalam perjalanannya kearah kemenangan mengolah tenaga Rakyat jelata itu didalam perjuangannya sehari-hari, menjadi pelopor daripada Rakyat jelata itu didalam menujunya kepada maksud dan cita-cita.

Partailah yang memegang obor, partailah yang berjalan dimuka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan yang terang. Partailah yang memegang komando daripada barisan massa. Partailah yang harus memberi kebewustan pada pergerakan massa, memberi kesadaran, memberi keradikalan.

Oleh karena itu, maka partai sendiri labih dahulu harus partai yang bewust, partai yang sadar, partai yang radikal. Hanya partai yang bewust dan sadar dan radikal bisa menjadi pelopor yang sejati didalam pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada kemenangan dan keunggulan. Hanya partai yang demikian itu bisa membikin massa aksi yang bewust, massa aksi yang dus dengan cepat bisa menggugurkan stelsel yang menjadi buah perlawanannya.

Demikianlah penjelasan Bung Karno tentang arti massa aksi, yang harus menjadi cara perjuangan Marhaenisme.

Dari penjelasan tersebut diatas teranglah pula fungsi partai didalam Marhaenisme, yaitu sebagai alat revolusioner untuk menyadarkan Rakyat jelata, dus kaum Marhaen, akan tujuan perjuangannya, yaitu meruntuhkan imperialisme- kolonialisme dan mendirikan diatas puing-puingnya suatu masyarakat baru : masyarakat adil dan makmur, masyarakat Marhaenis atau sosialis Indonesia.

DASAR FILSAFAT MARHAENISME

Tiap-tiap asas dan cara perjuangan Rakyat harus berdasar atas suatu keyakinan tentang pandangan hidup Rakyat yang berjuang itu. Kalau tidak demikian, maka ajaran itu adalah suatu ajaran yang melamun atau khayal.

Begitupula Marhaenisme. Ia berdasar atas suatu keyakinan tentang pandangan hidup. Pandangan hidup itu ialah suatu keyakinan tentang bagaimanakah segala sesuatu di dunia ini terjadi dan berkembang.

Itulah yang dinamakan filsafat hidup. Marhaenisme sebagai asas dan cara perjuangan Rakyat yang dideritakan oleh penindasan imperialisme mempunyai dasar filsafat yang khusus mengenai kehidupan Rakyat Indonesia dialam masyarakat tanah airnya sendiri.

Sudah barang tentu didalam hati Rakyat yang menderita kesengsaraan hidup sehari-hari, kekurangan sandang seperti diterangkan diatas, pertama-tama timbullah pertanyaan, apakah sebab daripada kemelaratannya dan apakah sebab daripada kekayaan dan kenikmatan hidup orang-orang asing yang menjajahnya.

Mudahlah dapat dimengerti bahwa Rakyat yang serba kekurangan menjawab pertanyaan itu dengan satu kesimpulan bahwa yang menjadi sebab perbedaan besar daripada kehidupan si ditindas dan si penindas ialah harta benda.

Si peninas bangsa asing dapat berkuasa dan hidup mewah dan enak karena ia mempunyai kekayaan yang serba benda. Sebaliknya si ditindas tidak berkuasa dan hidup dalam kemelaratan karena ia tidak mempunyai serba benda itu. Jadi ia kira bahwa segala sesuatu di dunia ini terjadi dan berkembang karena daya benda atau daya materi.

Dari sebab itu timbullah gagasan bahwa cara pembikinan benda itu dapat juga mempengaruhi jalan pikiran orang, malahan dapat menentukannya. Menurut pikiran itu maka di dunia ini yang primer yang nomor satu ialah benda atau materi.

Tetapi gagasan Rakyat Indonesia tidak demikian. Meskipun didalam kesengsaraannya Rakyat berpikir pertama-tama pada kebendaan sebagai syarat untuk perbaikan nasibnya, ia toh karena tradisi berabad-abad lamanya sekaligus berpikir tentang kekuatan yang menurut keyakinannya ada diluar kebendaan itu. Ia berkeyakinan bahwa diatas materi itu ada suatu kekuatan yang lebih besar dan yang berkuasa untuk menciptakan benda, untuk memungkinkan adanya benda itu.

Kekuatan yang Maha Kuasa itu, yaitu yang ada tanpa mempunyai sebab, ia sebut TUHAN. Maka Tuhanlah pula yang menentukan adanya kekuatan lahir dan kekuatan batin didalam tubuh manusia.

Itulah sebabnya bahwa Rakyat Indonesia mampu pula merasakan dengan kebatinannya penderitaan-penderitaannya yang disebabkan oleh imperialisme di negeri kita.

Memang benar bahwa yang menimbulkan perasaan penderitaan itu ialah peninasan yangterutama berupa serba benda. Tetapi sebaliknya serba benda itu tidak mungkin akan menimbulkan reaksi apa-apa, kalau Rakyat tidak mempunyai daya kebatinan yang mampu menimbulkan perasaan tadi. Reaksi yang demikian itu selanjutnya menimbulkan kesadaran yang dapat mengadakan gerakan masa dengan tujuan merubah kehidupan materil kaum Marhaen sehingga ia hidup bahagia sejahtera.

Jadi kekuatan batin itupun dapat meruah kekuatan benda, tetapi sebaliknya bendapun dapat merubah kelemahan batin menjadi kuat. Maka didalam kehidupan manusia selalu ada dua kekuatan itu, tidak saja berdampingan tetapi juga saling mempengaruhi. Oleh karena itu pandangan hidup Rakyat Indonesiapun sesuai dengan kenyataan itu.

Kedua unsur itu yaitu kebendaan dan kebatinan, adalah sama dayanya dan sama nilainya. Yang satu tidak dapat diangan-angankan tanpa yang lainnya. Keduanya menjadi intisari daripada pandangan filsafat Marhaenisme tetapi mereka tak dapat dipisah-pisahkan karena fungsinya ialah satu.

Itulah sebabnya bahwa kebendaan dan kebatinan daat disebut intisari daripada dasar filsafat Marhaenisme.

Ditinjau dari sudut filsafat Marhaenisme itu, mudah dimengerti kalau PNI mulai dulu sudah memperjuangkan suatu masyarakat adil dan makmur baik lahir maupun batin, atau materil atau sprirituil.

MARHAENISME DAN PANCASILA

Pancasila sebagai dasar falsafah negara, lahir pada tanggal 1 Juni 1945, ketika Bung Karno menguraikan kepada Rakyat Indonesia tentang pokok-pokok dasar filsafat negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Tetapi apabila kita mempelajari tulisan-tulisan dan uraian-uraian Bung Karno sejak lahirnya Marhaenisme pada tahun 1927 maka teranglah bahwa gagasan tentang pokok-pokok dasar Pancasila itu sudah ada pada tahun-tahun itu.

Sila Kebangsaan Indonesia berarti suatu kebangsaan yang luas, bukanlah berpaham “Indonesia uber Alles”, tetapi suatu kebangsaan perikemanusiaan yang dalam istilah Mahatma Gandhi dikatakan “my nation is humanity” (kebangsaan saya adalah perikemanusiaan).

Perikemanusiaan itu adalah sila kedua dan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia hendak hidup dalam persahabatan dengan seluruh bangsa-bangsa didunia ini. Itulah suatu internasionalisme yang sehat.

Internasionalisme ini dapat hidup subur kalau bersandarkan nasionalisme yang luas dan berasaskan perikemanusiaan tadi, dan nasionalisme hanya dapat hidup sehat kalau bersandarkan atas persahabatan bangsa-bangsa itu. Atau seperti dikatakan oleh Bapak Marhaenisme : “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar didalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme”.

Sila ketiga ialah kerakyatan atau demokrasi, tetapi bukanlah demokrasi liberal Barat, melainkan demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Jadi itu berarti demokrasi dalam segala bidang kehidupan Rakyat, yaitu dibidang-bidang politik, ekonomi dan sosial. Demokrasi ini bukanlah suatu sistem yang berasaskan “majority rule”, tetapi adalah demokrasi musyawarah untuk mufakat.

Demokrasi demikian dilangsungkan dalam badan perwakilan “yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip : politiek rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid”.

Inilah yang sebagai sila keempat dinamakan “keadilan sosial”.

Sila Ketuhanan berarti “bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri”.

Lain daripada itu “hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhannya dengan cara tiap-tiap orangnya menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap Rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan !”.

Maka kalau kita bandingkan keterangan-keterangan Bung Karno tentang isi dan arti lima sila daripada dasar filsafat negara tersebut diatas ini, dengan dasar-dasar pokok Marhaenisme yang telah diutarakan dimuka tadi, mengertilah kita kan pernyataan Bung Karno yangberbunyi sebagai berikut :

“Atau barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara-sudara tanya kepada saya apakah “perasan” yang tiga itu ? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu : itulah yang dahulu saya namakan sosio nasionalisme.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek economische democratie, yaitu politiek democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejaheraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dahulu saya namakan socio democratie.

Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga : socio nationalisme, socio democratie dan ketuhanan.”

Didalam pernyataan Bapak Marhaenisme yang dikutip diatas ini, teranglah menonjol persamaan atau identifikasi Marhaenisme dengan Pancasila.

Maka dari sebab itu, Pancasilapun menjadi dasar pandangan hidup, menjadi “Weltanschauung” Marhaenisme.

Jadi kalau Marhaenisme menghendaki masyarakat adil dan makmur bagi Rakyat Indonesia, maka masyarakat demikian itu harus pula berdasarkan atas pandangan hidup itu, ialah PANCASILA.

MARHAENISME DAN SOSIALISME INDONESIA

Sosialisme adalah tata kemasyarakatan dimana Rakyat hidup sama rata sama rasa didalam segala bidang kehidupannya, baik politik maupun ekonomi dan sosial.

Didalam masyarakat yang demikian itu terjaminlah keadilan bagi semua Rakyat. L ‘homme par l’homme (penghisapan manusia oleh manusia) tidak ada, karena kapitalisme, imperialisme dan kolonialismepun tidak ada. Atau menurut perumusan Bung Karno : “secara negatif; tidak ada kemiskinan, tidak ada l’exploitation de’homme par l’homme, tidak ada kekayaan individu yang berlebih-lebihan, sebaliknya secara positif : kekayaan umum yang melimpah-limpah”.

Didalam masyarakat sosialis yang demikian itu kehidupan rohaniahpun tidak dimiliki oleh individu atau segolongan kecil individu-individu saja, melainkan dimilIki umum juga. Kehidupan politikpun tidak hanya dikuasai oleh seorang atau segolongan kecil orang-orang saja melainkan dikuasai pula oleh Rakyat semua.

Itulah semua pada umumnya cita-cita tata masyarakat sosialisme.

Adapun sosialisme Indonesia menurut konsepsi Depernas, yang telah disetujui oleh MPRS ialah sebagai berikut :

“Sosialisme Indonesia adalah suatu ajaran dan gerakan tentang tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila adalah tuntutan Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia.”

Seperti sudah diterangkan diatas, Marhaenisme ditemukan dan dirumuskan oleh Bung Karno dari Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia karena penindasan imperialisme. Maka Marhaenismepun adalah suatu ajaran tentang asas dan cara perjuangan Rakyat kaum Marhaen yang dimelaratkan oleh feodalisme, kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme, yaitu suatu ajaran tentang asas dan cara perjuangan untuk menghilangkan feodalisme, kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme itu supaya dapat membangun di bumi tanah air Indonesia suatu masyarakat baru yang adil dan makmur. Dari sebab itu masyarakat yang dicita-citakan Marhaenisme atau masyarakat Marhaenisme itu ialah masyarakat sosialis Indonesia.

Dan sebagai telah diterangkan diatas pula, dasar pandangan hidup Marhaenismepun Pancasila juga, jadi sosialisme Marhaenisme adalah sosialisme Pancasila.

MARHAENISME DAN MANIFESTO POLITIK

Menurut Manifesto Politik maka revolusi Indonesia yang nasional dan demokratis adalah “revolusi bersama dari semua kelas dan golongan yang menentang imperialisme kolonialisme. Pendeknya revolusi Indonesia harus mendirikan kekuatan gotong royong, kekuatan demokratis yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan Rakyat”.

Adapun tentang cita-cita atau tujuan revolusi Indonesia didalam Manifesto Politik ditegaskan sebagai berikut :

“Hari depan revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur atau sebagai sering dikatakan oleh Presiden Sukarno “sosialisme ala Indonesia” yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan alam Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan Rakyat Indonesia”.

Supaya cita-cita revolusi Indonesia itu tetap murni apabila telah tercapai , maka penting sekali kita mengetahui siapakah musuh-musuh yang sebenarnya daripada revolusi Indonesia itu, jangan sampai mudah dijadikan teman dan teman dijadikan lawan dalam revolusi.

Musuh revolusi Indonesia yang sebenarnya ialah imperialisme.

Itulah sebabnya bahwa semangat daripada Manifesto Politik ialah semangat melawan imperialisme itu.

Diatas sudah diterangkan bahwa Marhaenisme berjuang karena hendak membebaskan Rakyat dari penderitaannya yang disebabkan oleh penindasan imperialisme. Oleh karena itu Marhaenismepun, yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kepribadian nasional Indonesia atau dengan singkat sosialisme Indonesia.

KESIMPULAN-KESIMPULAN

Kalau kita sekarang sampai pada membuat kesimpulan-kesimpulan daripada apa yang telah diterangkan diatas tentang pokok-pokok ajaran Marhaenisme, maka pertama-tama kesimpulan kita ialah mengenai dasar dan cara pengupasan masalah kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme didunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya serta pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia.

Dasar dan cara pengupasan itu ialah terletak dalam keadaan yang nyata daripada masyarakat Indonesia dan dalam perkembangan sejarah bangsa kita.

Dasar dan cara demikian itu sesuai dengan dasar dan cara yang dipakai oleh Marxisme, yaitu pengupasan hukum-hukum sejarah dengan cara berpikir dialektika : yakni dari pertentangan antara these dan anti these, pasti lahirlah synthese.

Dengan memakai metodik analisa Marxisme terdapatlah kenyataan bahwa di Indonesia ada peninasan dan penghisapan oleh kapitalisme, imperialisme atas Rakyat Indonesia yang menderita oleh karenanya. Kenyataan demikian itu menimbulkan keharusan pertentangan antara golongan Rakyat Indonesia sebagai keseluruhan dan golongan imperialisme dus bukan pertentangan kelas dengan kelas.

Dasar dan cara berpikir demikian itu bukanlah semata-mata untuk mengupas keadaan masyarakat supaya kita “mengerti” tentang sebab musabab keadaan itu, tetapi dasar dan cara berpikir demikian itu ialah dipergunakan untuk merubah keadaan masyarakat itu secara radikal revolusioner.

Jadi dasar dan cara berpikir itu tidak stais melainkan dinamis.

Maka dari itu benarlah apa yang ditegaskan oleh Bung Karno bahwa “orang tidak akan dapat mengerti Marhaenisme jika ia tidak mempelajari dan mengerti Marxisme”.

Jadi dapatlah disimpulakan bahwa pengaruh Marxisme didalam Marhaenisme adalah besar, meskipun Marhaenisme pada hakekatnya adalah ajaran tentang asas dan cara perjuangan di Indonesia, oleh Rakyat Indonesia dan untuk Rakyat Indonesia dan sesuai dengan kondisi-kondisi serta kepribadiaan masyarakat Indonesia.

Dari pengupasan atas dasar-asar demikian itulah dapat disimpulakn oleh Bung Karno (lihatlah “Suluh Indonesia” tanggal 4 Juli 1957) bahwa :

“Marhaenisme pada mulanya adalah ilmu perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai Indonesia Merdeka dan satu masyarakat adil dan makmur; kemudian ternyata bahwa ada beberapa negara diluar Indonesia yang sebenarnya mempraktekan Marhaenisme. Dengan begitu ternyata bahwa Marhaenisme itu mempunyai sifat universal, yaitu suatu ilmu pelaksanaan masyarakat adil dan makmur, masyarakat sosialis, menurut keadaan masing-masing bangsa.”

Marhaenisme adalah pula sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, ialah ajaran yang bertujuan susunan negara dan masyarakat yang didalam segala halnya menghendaki menyelamatkan kaum Marhaen.

Kesimpulan selanjutnya yang dapat diambil dari keterangan-keterangan diatas ini, ialah bahwa jelaslah persamaan asas dan cara perjuangan Marhaenisme dengan asas dan cara perjuangan Manipol. Baik Marhaenisme maupun Manifesto Politik menuju kesatu cita-cita dan tujuan Revolusi Nasional Indonesia yangterakhir, yaitu masyarakat adil dan makmur, atau masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.

Maka bagi tiap Marhaenisme yang sadar, dirasakan sebagai tepat sekali apa yang dinyatakan oleh Bung Karno, Bapak Marhaenisme, didepan Kongres PNI ke-9, pada tanggal 25 Juli 1960 di Sala, yang berbunyi sebagai berikut :

“Ya Usdek, ya Sosialisme Indonesia, ya Manifesto Politik, ya pesanan-pesanan yanng bernama penyelenggaraan pemenuhan daripada Amanat Penderitaan Rakyat itu, semuanya tak lain dan tak bukan adalah emanasi, yaitu pengutaraan dariapada jiwa yang membakar Marhaenisme.”

“Ya Marhaenisme, Ya Usdek, Ya Sosialisme Indonesia, Ya Manifesto Politik, itu sebetulnya kerbau-kerbau dari satu kandang.”

“Usdek, Sosialisme Indonesia dan sebagainya itu adalah perkataan-perkataan lain, tetapi artinya sama.”

Adanya kesimpulan tentang cara perjuangan Marhaenisme ialah dapat disingkat dengan mengemukakan inti sarinya, yaitu massa aksi yang radikal revolusioner.

Jakarta, Juli 1961

No comments: