Thursday, May 10, 2007

LENYAPKAN STERILITIET DALAM GERAKAN MAHASISWA

PIDATO TERTULIS PYM PRESIDEN SUKARNO PADA KONFERENSI BESAR GMNI DI KALIURANG JOGJAKARTA, 17 FEBRUARI 1959.

Terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan Konferensi Besar GMNI ini.
Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan GMNI adalah Marhaenisme.

Apa sebab saya gembira?

Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih dari 30 tahun yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan rakyat -suatu partai politik- yang asasnya pun adalah Marhaenisme.

Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut:

1. Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.

2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.

3. Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan "tegelijk", menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.

Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.

Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu?

Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.

Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur:

Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh)

Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan

Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum Marhaenis? Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot Bangsa. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu, dan yang bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, dan yang bersama-sama dengan massa Marhaen itu membanting tulang untuk membangun Negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.

Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan di atas tadi. Camkan benar-benar!: ”Setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen!”

Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi Besar GMNI dewasa ini?

Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada banyak kesimpangsiuran tentang tafsir pengertian kata-kata Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu.

Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan saya ini saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara praktikkan sebaik-baiknya, tidak hanya dalam lingkungan dunia kecil mahasiswa, tetapi juga di dunia besar daripada massa Marhaen.

Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril! Karena itu:

Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa!

Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen!

Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni!

Dan agar yang tidak murni terbakar mati!

Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan selamat kepada Konferensi Besar GMNI, dan mudah-mudahan berhasillah Konferensi Besar ini.

Jakarta, 17 Februari 1959

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/

PEMIMPIN BESAR REVOLUSI

SUKARNO

BAPAK MARHAENISME

MEMIKUL TANGGUNG JAWAB DALAM MEMENANGKAN PANCASILA

PIDATO TERTULIS PYM PRESIDEN SUKARNO PADA KONFERENSI BESAR GMNI DI JAKARTA, 20 JULI 1963.

Terlebih dahulu saya menyatakan kegembiraan saya dengan Konferensi Besar dari GMNI, dengn harapan semoga GMNI terus maju dalam perjuangannya untuk memenangkan seluruh cita-cita Revolusi nasional kita. GMNI memikul suatu tanggung jawab yang besar sekali dalam memenangkan Pancasila dan Manipol/USDEK.

Seperti sudah berkali-kali saya tegaskan, maka dalam alam Manipol/Usdek ini, dasar-dasar pokok ideologi kita harus teguh kita pegang teguh. Dan tidak hanya kita pegang teguh, tetapi harus kita perluas, perdalam dan perkembangkan di dalam praktik medan perjuangan. Medan Perjuangan kita dewasa ini adalah terus menyempurnakan Negara Kesatuan kita, terus membanting-tulang untuk membangun Sosialisme Indonesia dan terus memupuk solidaritas dengan ”the new emerging forces”.

Karena itu GMNI harus mempelopori pembinaan Negara Kesatuan dan Bangsa dan mengikis habis neo-provinsialisme. Selain itu GMNI harus terus berkonfrontasi dengan sisa-sisa kolonialisme dan neo-kolonialisme, terutama yang sedang mengepung kita seperti Malaysia sekarang ini. Percayalah bahwa kepungan ini akan patah dan berantakan karena zaman sekarang adalah zaman kemenangannya pergerakan kemerdekaan nasional dan zaman runtuhnya kolonialisme dalam bentuk apa pun juga. Kesemua ini masuk dalam medan perjuangannya GMNI, dan ideologi kita akan terus bersinar di tengah-tengah medan perjuangan kita ini.

Saudara-saudara sekalian, selaku mahasiswa harus menyadari hal ini dengan sungguh-sungguh, dan saya percaya bahwa selaku mahasiswa, saudara-saudara di samping menuntut berbagai ilmu pengetahuan akan terus mengorganisasi rakyat agar supaya benar-benar segala cita-cita untuk kemerdekaan, kemakmuran dan keadilan dapat terlaksana. Tetapi saudara-saudara selaku mahasiswa tidak boleh berjuang secara ”ngawur”. Kita harus berjuang dengan teratur. Teratur dalam ideologinya dan teratur dalam organisasinya! Barisan kita harus kokoh dan kuat. Bukan hanya ideloginya, yang kokoh kuat, tetapi juga ke organisasinya.

Saya minta supaya GMNI yang ideologinya adalah sudah tegas, sekarang ini mempertegas kedudukan organisasinya agar supaya dengan demikian perjuangan kita dapat berhasil.

Sekali lagi ”Selamat Berkonferensi”

Jakarta, 20 Juli 1963

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI

PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA

(SUKARNO)

BAPAK MARHAENISME

CITA-CITA SEBUAH RENUNGAN

Cita-cita takkan tercapai dengan sekelip mata,
Cita-cita juga memerlukan masa usaha dan doa.

Masa itu adalah emas.
Tanpa punya masa takkan bisa berbuat apa-apa.

Usaha tangga jaya.
Usaha hari inilah yang menentukan nasib hari esok.

Hidup jangan terburu-buru!
Setiap sesuatu pasti punya waktu.

Diri sendirilah yang menikmati yang menderitai kehidupan ini,
dan syurga dan neraka tak terletak di mana-mana dan pada sesiapa,
Surga dan neraka terletak di diri sendiri.
Terpulanglah pada diri sendiri
Mau ke mana.

Hayatilah setiap langkah hidup ini!
Tiada arti tanpa hayati.
Hayati itulah arti.

Jangan panjang angan-angan dari badan!
Hadapilah kenyataan!
Kenyataan inilah kehidupan.

Tiada yang lebih indah seperti dalam impian.
Keindahan hanya pada keindahan, ialah Tuhan.

SAUDARA-SAUDARAKU SETANAH AIR

Oleh Kahlil Gibran

Apa yang kau mau dariku saudara-saudaraku setanah air?
Apakah kau ingin agar aku berjanji palsu membangun istana besar dari
kata-kata dan rumah ibadah yang beratap mimpi?

Atau kau ingin agar aku memusnahkan pekerjaan para pendusta dan
pengecut dan menghancurkan pekerjaan para munafik dan tiran?

Apa yang kau mau agar kulakukan, Saudara-saudaraku setanah air?

Haruskah aku bernyanyi seperti seekor burung merpati untuk
menyenangkanmu,

Atau haruskah aku mengaum seperti singa untuk menyenangkan diriku?

Aku bernyanyi untukmu tapi kau tidak menari;

Aku berduka tapi kau tidak menangis.

Apakah kau ingin agar aku bernyanyi dan bersedih pada waktu yang
sama?

Jiwamu sedang lapar sedangkan roti pengetahuan lebih banyak daripada
batu-batu di lembah namun tidak kau makan.

Hatimu dahaga, padahal mata air kehidupan mengalir di sekeliling
rumahmu bagai sungai, tapi kau tidak minum.

Laut mengalami pasang naik dan surut, bulan muncul separuh dan
penuh, tahun membawa musim panas dan dingin, namun Keadilan tak
pernah berubah, tidak pernah goyah, tidak pernah musnah.

Kalau begitu, kenapa kau mengubah kebenaran?

Aku telah memanggilmu di malam bisu untuk menunjukkan padamu
keindahan bulan dan keanggungan bintang-bintang.

Kau bangkit, takut, dan menghunus pedang-pedangmu, dan berteriak,
“Di manakah musuh yang harus digempur?

Pada waktu fajar, penunggang kuda dari pihak musuh tiba,
Aku memanggil lagi, namun kalian tidak mau bangkit. Kalian tetap
tidur, berperang dengan musuh dalam mimpi kalian.

Kukatakan kepada kalian, “Mari kita naik ke puncak gunung di mana aku
bisa memperlihatkan kepada kalian kerajaan dunia.”

Kalian menjawab dengan berkata: “Di dasar Lembah gunung ini para
ayah dan leluhur kita hidup; dan dalam bayang-bayangnya mereka mati;
dan dalam gua-guanya mereka dimakamkan. Bagaimana kita akan bisa
meninggalkan mereka dan pergi ke tempat-tempat yang tidak mereka
datangi?”

Aku berkata pada kalian, “Mari kita pergi ke tanah-tanah datar dan
akan kuperlihatkan pada kalian tambang emas dan harta karun bumi.”

Kalian menolak dengan berkata: “Di dataran itu para pencuri dan
perampok mengintip.”

Kukatakan padamu, “Mari kita pergi ke pantai di mana laut
memperlihatkan kemurahan hatinya.”

Kalian menolak dengan berkata:“Gemuruh pada jurang itu menakutkan
kami.”

Aku cinta pada kalian, Saudara-saudaraku setanah air, namun cintaku
pada kalian menyiksa diriku, dan tidak menguntungkan kalian.

Hari ini aku membenci kalian, dan benci adalah banjir yang
menghanyutkan cabang-cabang yang sudah mati dan menggusur
bangunan-bangunan yang sudah runtuh…

Aku kasihan pada kelemahan kalian, namun rasa kasihanku memperparah
kemalasan kalian…

Apa yang kalian tuntut dariku, saudara-saudaraku setanah air?

Atau lebih tepat lagi apa tuntutan kalian pada kehidupan, kendati aku
tidak lagi menganggap kalian anak-anak kehidupan.

Jiwa kalian runduk ketakutan di tangan para tukang ramal dan tukang
sihir, sementara tubuh kalian menggigil di tangan para tiran, dan
negeri kalian membungkuk di bawah tumit sepatu para penakluk: apa
yang kau harapkan ketika kau berdiri menghadap matahari?
Pedang-pedangmu berkarat; ujung tombakmu patah; tamengmu
bergelimang lumpur. Kenapa kau berdiri di medan tempur?

Kemunafikan adalah agama kalian’ Kepura-puraan adalah hidup kalian,
debu adalah tujuan kalian.

Kenapa kalian hidup?
Kematian adalah satu-satunya tempat istirahat bagi orang-orang
nista.

Hidup adalah tekad di waktu muda, perjuangan selama masa dewasa dan
kearifan pada saat sudah matang.

Tapi kalian, Saudara-saudaraku setanah air, dilahirkan sudah tua
dan rapuh, kepalamu tertunduk,

Kulit kalian keriput, dan kau jadi seperti anak-anak bermain di
lumpur, melemparkan batu pada satu sama lain……

Kemanusiaan adalah sungai yang sangat jernih, bernyanyi, dalam
pacuan riak, dan membawa rahasia gunung-gunung ke laut dalam. Tapi
kalian adalah rawa yang endapannya penuh cacing dan tepinya penuh
ular.

Jiwa adalah keramat, nyala yang biru, menerangi wajah dewa-dewa.

Namun jiwa kalian, saudara-saudaraku setanah air, adalah abu yang
ditebarkan angin di atas salju, dan badai akan menghembusnya ke
jurang yang dalam.

Aku benci pada kalian, Saudara-saudaraku setanah air, karena kalian
remehkan kemenangan dan kebesaran.

Aku menghina kalian karena kalian menghina diri sendiri.

Aku musuh kalian karena musuh kalian adalah musuh dewa-dewa dan
kalian tidak mengetahuinya.

Diterjemahkan oleh Arman Duval dari ‘Mirrors of the Soul’ (Castle Books)

TEORI PENGETAHUAN MARXIS

Pengenalan manusia atas alam sekitarnya mempunyai sejarah yang panjang. Ia merupakan suatu perkembangan yang bertahap dari ketidaktahuan menjadi pengetahuan, dari pengetahuan yang tak lengkap dan tak sempurna menjadi pengetahuan yang begitu lengkap dan mendalam. Ciri-ciri dan hukum-hukum khusus dari proses ini diungkapkan oleh teori pengetahuan Marxis.

Untuk memahami hukum-hukum pengenalan, sesuatu harus dipandang dalam perkembangannya, dalam kelahirannya dan dalam perjuangan dari tendensi-tendensi didalamnya yang saling bertentangan. Sebagaimana halnya semua proses perkembangan, pengenalan juga dikuasai oleh hukum-hukum universal yang diungkapkan oleh dialektika materialis.

Dialektika, tulis Lenin, adalah teori pengenalan Marxis. Teori Marxis tentang pengetahuan berbeda dengan semua teori-teori yang dikembangkan oleh kaum materialis pra Marxis karena pendekatannya yang dialektik terhadap masalah pengenalan.

Praktek adalah Basis dan Tujuan Pengenalan

Pengenalan terhadap alam sekitarnya –penyelidikan atau penelitian galaksi yang sangat jauh dari partikel-partikel (bagian-bagian) yang sangat kecil dari benda, studi tentang asal-usul kehidupan diatas bumi dan studi tentang sejarah kebudayaan kuno, pemecahan masalah matematika yang sangat kompleks dan analisa tentang radiasi alam semesta, dan seterusnya– semua ini adalah suatu pekerjaan (tugas) yang paling menarik, yang menjadi suatu sumber kepuasan bagi pekerja riset, dan bahkan menjadi tujuan dalam kehidupan.

Tetapi orang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan bukannya semata-mata hanya untuk kesenangan. Pengetahuan mempersenjatai manusia dengan kemampuan yang sangat besar dalam pekerjaannya sehari-hari dan dalam perjuangannya terhadap alam, dan juga dalam aktivitas sosialnya ialah dalam semua peristiwa praktis dimana kehidupan masing-masing orang dan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan bergantung.

Filosuf-filosuf idealis seringkali berusaha untuk mempertentangkan pengenalan dengan aktivitas praktis, untuk memisahkan dari praktek. Mereka bertolak dari pandangan bahwa pengenalan adalah hasil dari dorongan abadi jiwa manusia untuk kebenaran dan tidak bergantung pada praktek, atau bahwa tindakan praktis itu tidak dihubungkan dengan pengenalan dunia, atau kepandaian orang hanya direncanakan untuk menguasai benda-benda dan untuk bertindak secara berhasil, sedangkan pengenalan yang sejati tentang dunia adalah sama sekali tak mungkin atau hanya mungkin melalui intusisi superindera.

Kedua-kedua pandangan ini memutarbalikkan hubungan yang benar antara pengertian atau kesadaran dengan aksi, teori dengan pratek. Sejarah tentang muncul dan berkembangnya ilmu mendemonstrasikan secara meyakinkan bahwa ilmu dan pengenalan pada umumnya muncul dari kebutuhan praktek, dan bahwa praktek adalah syarat yang diperlukan dan basis bagi pengenalan.

Dalam aktivitas praktisnya, orang memasuki hubungan segera dengan dunia alam sekitarnya. Karena ditindak dan diubah, benda-benda dan sasaran-sasaran menunjukkan kepada orang sifat-sifat mereka yang sebelumnya tidak dikenal. Menggunakan suatu benda sekaligus juga mengenalnya. Kemungkinan-kemungkinan pengenalan menjadi lebih luas bilamana praktek lebih banyak dan lebih beranekaragam.

Semua ilmu, termasuk yang paling abstrak, muncul sebagai jawaban atas keperluan kehidupan praktis manusia. Geometri, seperti namanya itu sendiri memberikan kesan, semula dihubungkan dengan pengukuran tanah; astronomi dengan pelayanan kalkulasi siklus (cycles) pertanian dengan penyusunan kalender dan mekanika dengan seni bangunan dan perbentengan dan seterusnya.

Bukanlah dalam waktu lampau yang jauh kita melihat ketergantungan pengenalan pada praktek. Ilmu alam mulai maju kedepan dengan cepat ketika munculnya kapitalisme, industri mulai berkembang dengan lompatan dan loncatan. Juga pada jaman sekarang, ilmu tak terpisahkan berhubungan dengan kehidupan praktis. Hubungan ini mejadi semakin kompleks dan tak langsung sejauh cabang-cabang teori yang abstrak tersangkut, tetapi praktek tetap senantiasa menjadi basis fundamental dari pengenalan, perangsang utamanya dan tenaga pendorongnya.

Salah satu kekurangan atau cacat dari semua materialis pra Marxis justru tidak kemampuannya menangkap hubungan antara pengenalan dengan praktek. Adalah benar sekali, apa yang dikatakan oleh filosuf-filosuf materialis pentingnya pengetahuan ilmiah bagi kehidupan manusia. Dalam abad ke-17 misalnya, leluhur materialis dari filsafat modern, Francis Bacon, menyatakan bahwa penguasaan atas alam untuk kemajuan kehidupan adalah maha penting bagi tujuan ilmu. Tetapi meskipun materialis yang lebih duluan menaksirkan pentingnya pengetahuan bagi praktek, mereka tidak mengerti pentingnya praktek bagi pengenalan. Kaum materialis kawakan pra Marxis bersifat penuh perenungan. Pengenalan dipandang sebagai aktivitas teoritis semata-mata dari para cendikiawan yang mengamati alam dan membayangkannya.

Mereka tak tahu hubungan antara pengenalan dengan masyarakat dan politik, atau dengan aktivitas produktif massa rakyat. Lagi pula mereka menganggap hal itu wajar dan tak terelakkan bahwa prestasi ilmu pengetahuan harus menjadi hak istimewa golongan kecil, sedangkan aktivitas praktis yang rendah dan kerja badan menjadi kewajiban sejumlah besar mayoritas yang bodoh.

Hanya Marx dan Engels, karena bebas dari prasangka-prasangka yang berwatak ahli-ahli teori klas penghisap, memahami bagian yang menentukan yang dimainkan oleh aktivitas praktis manusia dalam proses pengenalan. Mereka menarik kesimpulan bahwa aktivitas praktis manusia sehari-hari dalam produksi, yang telah menciptakan basis material kehidupan masyarakat, juga mempunyai arti teoritis yang besar bagi pengenalan.

Mereka menetapkan, sebagaimana Lenin menunjukkan, bahwa “segi kehidupan, segi praktek, harus diutamakan dan fundamental dalam teori pengetahuan”. Berbeda dengan materialisme pra Marxis, Marxisme memasukkan praktek kedalam teori pengetahuan, memandang praktek sebagai basis dan tujuan dari proses pengenalan dan sebagai ukuran (standard) keterpercayaan pengetahuan.

Dengan memasukkan segi kehidupan, segi praktek kedalam teori pengetahuan, Marxisme secara langsung menghubungkan pengenalan dengan industri dan pertanian, dengan riset laboratorium dan aktivitas sosial massa rakyat. Marxisme menganggap teori sebagai uraian dan generalisasi (penyimpulan) pengalaman praktis manusia, dan bukannya sesuatu yang dalam prinsipnya bertentangan dengan praktek.

Praktek dan teori adalah bertentangan, sebagaimana halnya aktivitas material dan aktivitas mental manusia. Tetapi pertentangan ini menembus satu sama lain dan mewujudkan suatu kesatuan dari dua aspek kehidupan masyarakat yang saling mempengaruhi dan terjalin secara tak terpisahkan.

Kesatuan Teori dan Praktek

Praktek tidak hanya merupakan tugas bagi teori untuk dipecahkan, ia mengarahkan perhatian para ilmuwan untuk studi (mempelajari) aspek-aspek, proses dan fenomena dunia obyektif yang penting bagi masyarakat, ia juga menciptakan peralatan material bagi pengenalan mereka. Praktek dalam hal ini industri, melengkapi ilmu dengan peralatan dan perlengkapan, dan memungkinkan para ilmuwan membuat percobaan-percobaan yang melibatkan peralatan yang sangat kompleks.

Produksi material memungkinkan manusia memperkuat organ inderanya, melipatgandakan kemungkinan pengenalan mereka ketingkat yang maha hebat. Mikroskop membesarkan lukisan obyek ratusan dan ribuan kali, dan mikroskop elektron bahkan beribu-ribu kali memungkinkan ilmuwan melihat dan memotret bagian-bagian terkecil dari benda-benda yang tak mungkin dilihat dengan mata telanjang. Dengan alat teleskop, orang mampu melihat atau memahami sinar bintang-bintang yang jaraknya ratusan juta tahun cahaya dari bumi; dan peralatan radio modern memungkinkan orang untuk menerima tanda-tanda dan informasi ilmiah dari satelit, roket-roket dan kapal-kapal ruang angkasa yangn jauhnya ratusan ribu kilometer.

Mungkinkah ilmu modern tanpa proton syncreton yang membangkitkan milyaran volt elektron dalam mikro partikel (bagian benda yang paling kecil) atau tanpa reaktor atom, teleskop yang sangat kuat dan komputer yang berkemampuan berpuluh-puluh ribu kalkulasi perdetik ? Sudah tentu tidak.

Tetapi ilmu, karena ia telah ditimbulkan oleh praktek, juga mendesakkan pengaruh tibal balik yang sangat kuat yang selalu bertambah kepada praktek. Sukses-sukses teknik yang maha hebat dan perkembangan tenaga produktif dalam abad XX dimungkinkan hanya melalui penggunaan yang luas dan mencakup seluruh penemuan-penemuan ilmiah dalam industri pertanian, transport dan komunikasi, dan melewati perwujudan hukum-hukum dan formula-formula dalam mesin dan peralatan-peralatan serta dalam proses teknologi.

Dengan pengetahuan hukum-hukum alam, pikiran manusia memimpin atau mengarahkan aktivitas produksi material dan enjadi suatu kekuatan yag mampu mengubah lingkungannya. Dalam hubungan ini Lenin mengatakan bahwa “kesadaran tidak hanya mencerminkan dunia obyektif, tetapi juga menciptakannya”. Jadi, hubungan dan salingmempengaruhi antara teori dengan praktek, antara ilmu dengan produksi dengan tekanan pada praktek, merupakan suatu syarat yang diperlukan bagi kemajuan maerial dan teknik masyarakat.

Kehidupan politik dan masyarakat juga menjadi kancah saling mempengaruhi yang tetap antara teori dengan praktek. Juga disini teori muncul sebagai jawaban atas kebutuhan kehidupan masyarakat dan perjuangan klas, dan sebaliknya, mempengaruhi proses masyarakat. Benar, bahwa ilmu sosial yang sejati itu pertama-tama dikembangkan oleh Marx. Tetapi teori masyarakat pra Marxis yang progresif pun mengandung sekurang-kurangnya beberapa unsur pengetahuan ilmiah, memainkan bagian yang paling progresif, membantu kekuatan progresif masyarakat untuk memahami tujuan-tujuan praktis dan masalah-masalah (problem) mereka yang mendesak, dan mendukung serta mengilhami kekuatan-kekuatan ini dalam perjuangan mereka melawan reaksi dan lembaga-lembaga yang telah usang. Pentingnya teori bagi kehidupan masyarakat dan hubungan antar rakyat berkembang sangat cepat setelah Marx dan Engels mengambangkan konsepsi masyarakat yang materialis ilmiah.

Kemenangan-kemenangan revolusi sosialis dan prestasi yang besar sekali akan tidak dimungkinkan bila Partai-partai Sosialis dalam usahanya tidak terpimpin oleh teori Marxisme, prinsip kesatuan teori dan praktek.

Teori mengabdi pada praktek perjuangan klas pekerja, dan paktek mengambil tujuan-tujuannya dari teori. Jika tidak demikian teori dan praktek, kedua-duanya menderita. Terpisah dari praktek, teori menjadi gersang. Tak terpimpin oleh teori, praktek terhukum untuk meraba-raba dalam kegelapan.

Kenyataan bahwa Marxisme mengakui praktek sebagai tujuan akhir dari pengenalan ilmiah, sedikitpun tidak berarti bahwa ia meremehkan teori, dan sama sekali berlainan dengan praktikalisme yang sempit. Tuntutan bahwa ilmu dan kehidupan harus dihubungkan, ditujukan untuk melawan isolasi ilmu dari tugas-tugas praktis, melawan pengubahan teori menjadi latihan mental yang gersang. Tetapi itu bukanlah berarti hilangnya perspektif dan batas-batas dari tugas riset teoritis untuk semata-mata mengabdi keperluan praktis yang mendesak. Riset teoritis “harapan” yang luas, yang membuka hubungan-hubungan baru dan hukum-hukum kenyataan dan menciptakan “cadangan” teori untuk kemajuan ilmu dan teknik lebih lanjut, diperukan bagi perkembangan ilmu dan teknologi yang kontinu (berkesinambungan). Marxisme tidak membiarkan tiap percobaan untuk mengubah kebenaran ilmu guna menyesuaikan keperluan-keperluan pada suatu waktu.

Tuntutan Marxis terhadap sikap berat sebelah ditujukan melawan pelanggaran-pelanggaran mengenai obyektivitas dalam riset, melawan pengubahan kenataan apa saja yang mungkin terjadi. Baik pada waktu perjuangan untuk emansipasi dari eksploitasi kapitalis maupun selama pembangunan sosialis, klas buruh sangat berkepentingan akan pengetahuan yang sejati, termasuk pengetahuan tentang hukum perkembangan masyarakat, sebab semua itu merupakan hukum-hukum dari kemenangan akhir mereka yang tak terelakan.

Borjuasi telah lama membuang minatnya akan riset ilmiah yang adil, khususnya dalam bidang ilmu sosial. Perhatian mereka yang pokok dalam bidang itu ialah untuk menentang Marxisme dan mendapatkan argumen-argumen yang menguntungkan sistem kapitalisme. Juga dalam ilmu alam borjuasi tidak begitu banyak tertarik dalam pengetauan yang sejati seperti keuntungan-keuntungan segera yang diperoleh daripadanya.

Pendekatan mereka terhadap ilmu hanyalah yangn bermanfaat. Ini, sudah barang tentu, tertuju pada borjuasi sebagai klas, dan bukan kepada ilmuwan yang jujur yang tidak dapat disuap yang hidup dalam masyarakat borjuasi.

Dalam masyarakat sosialis, riset ilmiah tak mengenal rintangan-rintangan. Pengertian bahwa pengenalan dunia bukannya masalah perseorangan dari para ilmuwan, tetapi suatu masalah yang mempunyai arti sosial sepenuhnya, mengilhami semua ilmuwan yang jujur untuk mengabdi kebenaran dengan kesetiaandan ketaatan diri.

Ilmu adalah Refleksi dari Dunia Obyektif

Teori pengetahuan Marxis adalah suatu teori refleksi. Ini berarti bahwa ia menganggap pengenalan sebagai refleksi dari kenyataan obyektif dalam pikiran manusia.

Para penentang materalisme dialektika biasanya menolak konsepsi pengetahuan ini. Mereka menyatakan, misalnya, bahwa tak ada gunanya berbicara tentang refleksi dari huku-hukum alam yang tak bisa dilihat, dan bahwa tak ada kenyataan darimana rumus-rumus matematika an kategri-kategi logika (misalnya “essence”) dan konsep-konsep etika (“keadilan”, “kemuliaan”) dapat menjadi refleksi. Tetapi, keberatan-keberatan ini dan sebangsanya, didasarkan pada konsepsi refleksi yang mentah dan primitif.

Dengan penguraian pengetahuan sebaai refeksi, materialisme dialektika menunjukkan bahwa pengetahuan karena merupakan reproduksi kenyataan didalam kesadaran manusia, maka tak lain ia adalah refleksi dari dunia obyektif.

Bukanlah benda-benda itu sendiri atau sifat-sifat dan hubungan-hubungan mereka yang hidup dalam kesaaran manusia, tetapi bayangan-bayangan dan refleksi-refleksi mereka, yang membawa sedikit atau banyak secara tepat ciri-ciri dari obyek-obyek yang diamati, dan dalam pengertian ini serupa dengan mereka. Dan sebaliknya, itu bukannya rumus-rumus atau konsep-konsep yang hidup dalam dunia material dari kenyataan, melainkan benda-enda obyektif yang dicerminkan oleh konsep-konsep dan rumus-rumus ini.

Teori refleksi materialis membedakan antara kesadaran dengan benda, antara pengenalan dengan obyeknya. Tetapi ia tidak mempertentangkan kesadaran terhadap benda dalam pengertian yang sesungguhnya, karenabenda merupakan kenyataan obyektif yang dicerminkan dalam kesadaran manusia dan karena kesadaran itu sendiri merupakan sifat atau milik dari benda.

Pengakuan bahwa pikiran merupakan milik dari benda yang terorganisasi palingn tinggi, yaitu otak, mengandung kesimpulan bahwa tidak ada dan tidak mungkin ada garis batas yang fundamental yang tidak bisa dilalui antara pikiran dengan dunia material.

Fenomena mental dan spiritual sudah tentu menjadi obyek pengenalan atau pengamatan, sama halnya dengan benda-benda material. Tetapi, ini sekali-kali tidaklah berarti mengubah sifat dasar pengenalan, sebab fenomena-fenomena semacam itu sendiri merupakan refleksi dari kenyataan obyektif diluar kesadaran manusia.

Lagi pula, kecakapan pengenalan manusia bukanlah bakat yang misterius yanng dianuerahkan oleh Tuhan, tetapi hasil perkembangan yang panjang atau lama yang terjadi dalam proses pengenalan atau proses refleksi dari dunia material atas dasar aktivitas praktis. Dalam proses ini indera-indera berkembang dan pikiran diperbaiki atau disempurnakan.

Demikian itulah prinsip-prinsip filsafat Marxis dalam masalah pengetahuan. Titik tolaknya adalah kecakapan manusia dalam mengenal dan mencerminkan alam sekitarnya, dan ia membuka peluasan yang tak terbatas bagi kemajuan pengetahuan manusia.

Berlawanan Dengan Agnostisme

Banyak filosuf dari kubu idealis dan juga sementara ilmuwan dibawah pengaruh mereka, menetang ajaran materialis bahwa dunia itu mungkin dikenal.

Mereka menegakkan pendirian agnostisme ( “a” adalah bahasa Yunani yangberarti “tidak”, dan “gnosis” adalah “pengetahuan”). Agnostisme tidak selalu menyatakan bahwa kita tak bisa mengetahui sesuatu. Sering ia “semata-mata” menganjurkan bahwa ada masalah-masalah pada prinsipnya tak dapat dipecahkan, bahwa ada bidang-bidang kenyataan yang akan tinggal diluar jangkauan pengenalan pada prinsipnya, tak peduli bagaimana banyaknya ilmu dan kemajuan teknologi serta perkembangan kecerdasan otak manusia.

Agnostis Scotlandia abad XVIII David Hume, misalnya menyatakan bahwa hanyalah tanggapan indera yang bisa kita jangkau dan bahwa tujuan ilmu hanyalah untuk mengatur dan mensistematiskannya. Dalam pendangan David Hume itu, kita tidak mengetahui apakah yang ada dibelakang tanggapan indera kita dan apakah yang menyebabkannya. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa masalah filsafat yang fundamental tidak terpecahkan. Ia menyatakan bahwa kita tidak bisa mengatakan berdasarkan apakah dunia itu – apakah berdasarkan benda atau berdasarkan kejiwaan, kesadaran. Kita tidak tahu dan tak pernah akan tahu, sebab kita tak mungkin melampaui lingkungan tanggapan indera kita.

Imanuel Kant, seorang Jerman rekan dia sejaman tidak menyangkal bahwa tanggapan indera kita disebabkan oleh benda-benda yang hidup tak tergantung pada manusia dan penganalannya. Akan tetapi ia mengatakan bahwa benda-benda ini (ia menamakannya “benda-benda dalam diri mereka sendiri”) pada prinsipnya tak dapat dicapai dengan pengenalan.

Agnostisme sangat erat dihubungkan dengan ajaran agama bahwa “jalan Tuhan tak dapat diukur”, bahwa akal manusia bisa berbuat salah dan bahwa manusia memerlukan jalan ke kebenaran yang berebeda dan non ilmiah. Kant sendiri mengakui bahwa ia harus “menghentikan ilmu pengetahuan, agar memberi ruang bagi kepercayaan”.

Filosuf agnostik selalu menjadi sekutu Gereja, bahkan dalam masalah-masalah yang sewaktu mereka sendiri tidak mempercayai Tuhan. Masalahnya ialah bahwa agnostisme, yang menampilkan gagasan palsu bahwa dunia itu tak bisa dikenal, merongrong ilmu dan memperkuat teologi, dan mengarahkan kepada kepercayaan yang membuta, membujuk orang untuk percaya pada ajaran-ajaran agama.

Agnostisme dalam segala bentuknya bertentangan dengan kenyataan-kenyataan kehidupan. Sejarah ilmu menunjukkan bagaimana manusia melangkah maju, mula-mula perlahan-lahan dan akhirnya makin lama makin cepat, dari ketidaktahuan menjadi berpengetahuan, dan bagaimana alam mengungkapkan pada manusia rahasia-rahasianya yang nampaknya tak bisa dipahami.

Lima ratus tahun yang lalu orang masih berpendapat bahwa bumi merupakan pusat dunia yang terbatas dan bahwa bintang-bintang terikat pada cakrawala angkasa (celestial firmament) yang menyerupai kubah (kolong kaca yang berbentuk bola). Ahli-ahli pikir besar Renaissance –Copernicus, Bruno dan Galileo– membuang pikiran-pikiran palsu, menghancurkan kubah kosmos kaca dan meluaskannya menjadi tak terbatas. Tetapi bahkan seratus tahun yang lalu, nampak pada sementara orang bahwa susunan dan bentuk-bentuk benda ruang angkasa terikat tetap untuk selama-lamanya suatu teka-teki yang tak terjawab. Aguste Comte menyatakan secara kategors bahwa umat manusia tak pernah akan mengerti, terdiri dari apakah bintang-bintang itu. Tetapi baru dua tahun setelah kematiannya, dalam tahun 1859, metode analisa spectral meletakkan dasar bagi bagi penyelidikan komposisi kimia benda-benda ruang angkasa.

Pada permulaan abad XX, astronomi belum mampu melampaui batas galaksi kita, Bima Sakti, sebagaimana alat riset modern sekarang yang telah mengungkapkan jutaan sistem perbintangan lainnya dan memberikan kepada manusia suatu ide tentang struktur alam semesta, mengenai jarak-jarak yang menantang imajinasi.

Manusia tidak hanya memasuki bidang angkasa luar yang tak terbatas; ia memasuki jauh kedalam mikrokosmo, makin lebih dekat menemukan pemecahan teka-teki tentang asal-usul kehidupan, dimana-mana, dalam segala bidangilmu, kita mendapatkan keyakinan akan daya yang tak terbatas dari pengenalan ilmiah.

Akan tetapi, sangkalan yang meyakinkan terhadap agnostisme adalah praktek, aktivitas manusia, produksi. Engels mengatakan bahwa segera setelah kita dapat menimbulkan atau menghasilkan sesuatu fenomena yang sesuai dengan dugaan kita atas fenomena itu, dan lagi, membuatnya sesuatu itu mengabdi tujuan kita, kita dapat yakin bahwa dalam batas-batas tertentu pikiran kita mengena fenomena itu merupakan pengetahuan yang nyata dan layak dipercaya.

Dimulai dengan percobaan-percobaan laboratorium dan penghitungan teoritis, ahli-ahli ilmu fisika tidak hanya mempelajari untuk menghasilkan suatu reaksi berantai dari disinterasi dalam atom uranium, tetapi juga menguasai reaksi ini dalam gundukan-gundukan atom. Produksi tenaga atom dalam reaktor-reaktor industri membuktikan kebenaran dalil-dalil fisika teoritis yang bertitik tolak dari pekerjaan para ilmuwan, dan mendemonstrasikan bahwa kita mempunyai pengatahuan yang benar tentang sementara hukum-hukum proses intranuklir.

Hipotesis Tsiolkovsky telah membuat dasar-dasar teoritis kemungkinan untuk menggunakan mesin jet dan roket bagi perjalanan ruang angkasa, telah memberikan suatu permulaan pada ilmu penjelajahan ruang angkasa. Perkembangan penerbangan jet, satelit bumi buatan dan kapal ruang angkasa telah menunjukkan bahwa pandangan Tsiolkovsky dan penerus—penerusnya adalah benar dan kalkulasi mereka cukup beralasan. Teknologi industri modern memberikan sejumlah bukti yang tak kunjung habis tentang kemampuan ilmu pengetahuan.

Teori Tentang Kebenaran

Masalah kebenaran merupakan masalah pokok teori tentang pengetahuan dan merupakan persoalan yang paling penting bagi tiap ilmu. Jika teori ilmiah tidak melengkapi pengetahuan yang sejati, sepeserpun tak bernilai. Persoalan kebenaran timbul bilamana kita disangkutkan pada hubungan pengetahuan kita dengan kenyetaan obyektif. Oleh karena dunia obyektif itu hidup tak tergantung pada kesadaran, jelaslah bahwa dalam proses pengenalan pikiran, ide dan teori-teori kita harus sesuai dengan kenyataan obyektif.

Barang siapa bertindak menyimpang pasti menyerah pada subyektivisme yag kososng, membuang pengertian mereka mengenai kenyataan, membuat atau menjadikan harapan sebagai bapak dari pikiran, dan akhirnya gagal dalam aktivitas praktis mereka.

Jika citarasa, tanggapan, gagasan, konsep dan teori-teori kita sesuai dengan kenyataan obyektif, jika semua itu mencerminkannya secara tepat, kita menyatakan bahwa mereka benar, sedang pernyataan-pernyataan, penilaian-penilaian atau teori-teori yang benar disebut kebenaran.

Sering dikatakan bahwa tujuan pengenalan adalah untuk mendapatkan kebenaran, untuk menemukan kebenaran, dan sebagainya. Sudah semestinya bahwa ini tidak seharusnya diartikan bahwa kebenaran itu ada denngan sendirinya dan bahwa orang menemukannya secara kebetulan. Hal itu hanya diartikan bahwa pengenalan itu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang sejati (benar). Ini harus diingat, sebab sementara filosuf-filosuf idealis menyatakan bahwa kebenaran-kebenaran semacam itu ada atau hidup tak tergantung dan bahwa dibawah kondisi tertentu orang dapat merenungkan dan melukiskannya.

Dalam kenyataan, ide tentang “kebenaran” hanya berlaku untuk pengetahuan, ide, teori dan konsep manusia. Apa yang hidup dalam dunia obyektif bukanlah kebenaran, etapi benda-benda, fenomena-fenomena dan proses-proses sebangsanya yang dicerminkan dalam gagasan dan ide-ide manusia.

Kebenaran Obyektif

Meskipun kebenaran timbul dalam proses pengenalan manusia, sifat-sifat dan hubungan-hubungan benda yang tercermin didalamnya tidak tergantung pada manusia. Oleh karena inilah mengapa kita mengatakan bahwa kebenaran adalah obyektif.

Maka dari itu, dengan kebenaran obyektif kita maksudkan pengetahuan mansuia yang mencerminkan secara tepat dunia obyektif, hukum-hukum dan sifat-sifatnya, dan dalam pengertian ini, sebagaimana Lenin mengatakan, ia “tidak tergantung pada pelaku –tidak tergantung pada seseorang atau umat manusia seluruhnya.”

Orang tak mempunyai daya terhadap kebenaran. Ia bisa mengubah dunia sekitarnya. Ia bisa mengubah kondisi kehidupannya. Tetapi ia tak bisa mengubah kebenaran, meskipun ia menghendaki, karena kebenaran itu mencerminkan sesuatu yang hidup secara obyektif.

Setiap kebenaran adalah kebenaran obyektif. Ia harus dibedakan dengan pendapat yang subyektif yang tidak sesuai dengan kenyataan, dengan hasil khayalan atau ilusi. Tidak semua hal yang telah dan sedang dianggap benar adalah benar yang sungguh-sungguh. Misalnya, dalam masa yang panjang orang berpendapat bahwa matahari itu mengitari bumi; tetapi ini adalah pandangan yang keliru. Dipihak lain, ajaran astronomi modern yang menyatakan bahwa matahari merupakan pusat dari sistem kita disekitar mana planet-planet termasuk bumi berputar dalam orbitnya, merupakan ajaran yang obyektif benar. Mengapa ? Karena ia mencerminkan ciri-ciri yang sebenarnya dari sistem matahari yang tidak tergantung pada manusia.

Proses Pengenalan

Pencerminan dunia obyektif dalam kesadaran manusia tidak diartikan secara metafisik sebagai perbuatan tunggal (tak banyak ragamnya). Pengenalan merupakan proses dengan banyak aspek dan terdiri dari tingkat-tingkat yang berbeda meskipun saling berhubungan.

Dalam menjelaskan hal tersebut, Lenin menulis : “Dari perenungan hidup ke pemikiran yang abstrak dan dari situ ke praktek, begitulah proses dialektik dalam mengenal kebenaran, mengenal kenyataan obyektif.” Sebagaimana kita mengatakan, pengetahuan yang diperoleh manusia melalui penglihatan yang pasif atas lingkungannya tidak sedemikian banyak seperti dalam proses hubungan-hubungan praktis yang aktif terhadap benda-benda. Prakteklah yangn menghubungkan manusia secara langsung dengan dunia luar yang menimbulkan sensasi (citarasa), yang merupakan titik tolak dalam aktivitas pengenalan seseorang dan dalam sejarah pengenalan manusia pada umumnya. Singkatnya tingkat pengenalan pertama terdiri dari sensasi.

Sensasi adalah Bayangan-bayangan dan Ciri-ciri Benda

Dalam analisa terakhir, karena semua pengetahun berkembang dari sensasi, masalah kebenarannya terutama tergntung pada apakah sensasi-sensasi kita itu jujur atau tidak dan apakah mereka dapat secara tepat mencerminkan benda-benda material dan ciri-cirinya. Teori pengetahuan Marxis, yang berdasarkan prinsip-prinsip fundamental materialisme dialektika, menjawab masalah itu denan mengatakan “ya”.

Ada isi yang obyektif benar dalam setiap perbuatan pengenalan manusia yang dimulai dengan citarasa. Citarasa manusia, seperti halnya tanggapan (persepsi) dan pemahaman manusia, merupakan pencerminan atau lukisan dari benda-benda dan ciri-cirinya.

Sekalipun begitu, ada filosuf dan sarjana-sarjana ilmu pengetahuan alam yang menentangnya.

Pada pertengahan abad XIX, ahli fisiologi Jerman yang terkenal John Műller, sementara meneliti mekanisme indera kita, menunjukkan, misalnya, bahwa sensasi cahaya bisa disebabkan tidak hanya oleh sinar lampu, tetapi juga dengan pembangkitan gairah syaraf penglihatan dengan aliran listrik, rangsang mekanik. Atas dasar ini Műller menarik kesimpulan yang salah bahwa sensasi kita tidak lebih daripada mengenalkan keadaan indera yang bersangkutan dan tidak menyatakan kepada kita tentang benda-benda diluar kita dan ciri-cirinya. Ajaran Műller dikenal sebagai “idealisme psiologi”. Ilmuwan Jerman abad XIX lainnya yang menonjol, Hermann Holmholtz, juga menytakan tidak kepercayaan persepsi indera.

Barang siapa menyetujui pandangan-pandanan ilmuwn ini menganggap bahwa citarasa (sensasi) bukan bayangan tetapi hanyalah pertanda yang biasa, perlambang, lambang yang samar-samar, yang merupakan suatu fenomena, yang menunjukkan fenomena, tetapi tidak mencerminkan sifatnya yang obyektif.

Pandangan ini mengubah sensasi menjadi rintangan yang teratasi yang menutup manusia terhadap dunia luar, tepatnya menutup jembatan yang menghubungkan manusia dengan dunia diluarnya. Lagi pula, pandangan agnostik ini besar kemungkinannya mengarah ke suatu penolakan terhadap kehidupan obyektif benda-benda, sebab kenyataan obyektif sama sekali tidak perlu sesuai dengan pertanda-pertanda yang lajim atau perlambang. Dalam sejarah filsafat jalan menuju idelisme subyektif justru melewati penolakan bahwa sensasi adalah refleksi ciri-ciri obyektif dari benda-benda. Tetapi sangkalan atau penolakan ini bertentangan dengn pengalaman umat manusia dan bukti-bukti atau kenyataan-kenyataan ilmu.

Studi tentang evolusi dunia binatang menunjukkan bahwa indera binatang berkembang dan disempurnakan dalam proses saling pengaruh mempengaruhi antara tubuh dan lingkungannya. Selama evolusi yang panjang indera-indera menyesuaikan dengan dunia luar sedemikian rupa hingga menjadi pedoman yang baik terhadap kondisi-kondisi sekitarnya. Lenin menulis bahwa “manusia tak pernah dapat menyesuaikan dirinya secara biologis terhadap lingkungannya bila citarasanya tidak memberikan kepedanya penyajian yanng obyektif benar dari lingkungan itu”.

Jika citarasa tidak memberi kita sedikit banyaknya pengetahuan yanngbenar atas benda-benda dan ciri-cirinya, pemikiranpun tak dapat benar, sebab pemikiran itu timbul dari dan didsarkan atas sensasi. Akhirnya tak akan ada sama sekali pengetahuan yanngbenar, manusia akan berda dalam dunia hantu dan ilusi, dan kehidupannya akan mustahil.

Sudah barang tentu, juga ada unsur yang subyektif dalam sensasi, sebab sensasi-sensasi itu berentetan dengan aktivitas indera dan sistem syaraf manusia, dengan otaknya. Tak ada bayangan dapat sama dengan benda yang mencerminkannya. Ia selalu membawa ciri-cirinya sedikit atau banyaknya dengan benda yang mencerminkannya. Ia selalu membawa ciri-cirinya sedikit atau banyaknya dengan kira-kira dan tidak lengkap. Akan tetapi sensasi bukannya hanya keadaan-keadaan yang subyektif dari otak manusia, “sensasi merupakan bayangan yang subyektif dari dunia obyektif” (Lenin).

Selanjutnya, sensasi berisi kebenaran obyektif. Demikian itu hanyalah merupakan titik pandangan materialis ilmiah. “Untuk menjadi seorang materialis”, Lenin menekankan “wajib mengakui kebenaran obyektif yanng diungkapkan kepada kita oleh indera kita”.

Sensasi, tanggapan, pemikiran yang diperoleh melalui indera merupakan basis pengetahuan, titik tolaknya. Tetapi pengetahuan tidak berhenti disini. Ia maju lebih jauh, naik ketingkat pemikiran yang abstrak.

Pemikiran adalah Pengenalan Inti Fenomena

Teori pengetahuan Marxis mengakui perbedaan kualitatif antara dua tingkat ini. Tetapi, jauh dari memisahkan mereka, ia menanggapi saling hubungan dialektika mereka.

Meskipun pemikiran merupakan bentuk tertinggi dari aktivitas pengenalan, ia juga muncul pada tingkat sensasi. Ketika orang merasa, ia telah berpikir, menjadi sadar akan hasil tanggapan inderanya, dan mengerti apa yang ia tanggapi. Pada waktu yang bersamaan, hanya sensasi dari tanggapan yang melengkapi pemikiran dengan material penelitian dan eksperimen (empirical material) yang merupakan dasar dari semua pengetahuan kita. Kemungkinan pengenalan indera itu terbatas. Pengenalan fenomena yang diluar jangkauan sensasi terjadi dengan melalui pemikiran yang abstrak. Misalnya, kita tak dapat secara langsung menanggapi kecepatan cahaya yang 300.000 km perdetik itu dengan indera kita atau membayangkannya. Tetapi kecepatan itu nyata ada, dan kita bisa memikirkan itu dengan mudah. Lagi pula, kita bisa mengukurnya dengan peralatan-peralatan atas dasar perhitungan teoritis. Kita bisa menanggapi jarak waktu satu perseratus juta detik (second), yang merupakan masa kehidupan dari partikel elementer seperti sementara meson (partikel sub atom yang bermassa antara elektron dan proton). Tetapi kita bisa memikirkan itu. Matematika selalu berurusan dengan kedua-dua kuantitas, baik yang maha besar maupun yang maha kecil, yang tak bisa dibayangkan.

Penyimpulan elementer (yang sederhana) juga dibuat pada tingkat pengenalan indera. Kita menanggapi ciri-ciri atau sifat-sifat umum, misalnya, putihnya benda-benda yang berbeda-beda seperti salju, garam, buih, gula, kertas, dan lain-lain. Tetapi pengetahuan indera tidak mengungkapkan sifat dalam dari fenomena, hubungan dan sangkut paut mereka yang penting atau perlu. Untuk menemukan hukum-hukum yanng menguasai fenomena, untuk menembus kedalam inti mereka ialah untuk memperoleh pengetahuan yang ilmiah mengenai dunia sekitar, kita memerlukan aktivitas yang berbeda secara kualitatif –pemikiran, yang berbentuk konsep, penilaian, kesimpulan, hipotesis dan teori.

Tak ada hukum sedemikian itu dibawa oleh indera-indera. Orang mengamati benda-benda jatuh ke bumi tak terhitung kalinya, tetapi itu diperlukan kemajuan ilmu yang luar biasa dan kecerdasan pikiran

Newton untuk menemukan dan merumuskan hukum gaya berat, yang menyangkut semua fakta-fakta yang tak terbilang banyaknya dan merupakan basisnya.

Kita tahu bahwa sensasi timbul karena pengaruh langsung benda-benda terhadap indera kita merupakan pencerminan dunia obyektif, dan karena itu berisi kebenaran. Dapatkah hal yang sama dikatakan hasil pemikiran, dimana konsep-konsep yang abstrak tidak dihubungkan seketika dengan benda-benda material ? Ya, sudah tentu.

Sensasi dan persepsi (tanggapan) selalu berurusan dengan masing-masing fakta yang kongkrit, dengan aspek luar fenomena. Mereka mencerminkan semua ini dengan sedikit atau banyak tingkat ketepatan. Konsep-konsep yang abstrak juga memerlukan refleksi (pencerminan) kenyataan yang berisi kebenaran obyektif. Tetapi konsep-konsep yang abstrak mencerminkan “lapisan” dalam yang lebih jauh. Mereka tidak membatasi diri pada aspek-aspek sensasi luar fenomena, tetapi mengkhususkan hubungan-hubungan esensial dan hubungan-hubungan yang terletak pada akar mereka. Misalnya, indera menunjukkan kita, bahwa guruh dan halilintar diikuti hujan lebat. Pengetahuan ini mungkin cukup bagi perbuatan-perbuatan praktis tertentu, seperti mencari perlindungan ketika terjadi hujan angin yang disertai guruh. Tetapi itu sama sekali tidak cukup atau lengkap untuk menjelaskan fenomena yang dilihat dalam hujan angin ribut yang disertai guruh dan petir. Hal itu membutuhkan pemikiran dalam konsep yang abstrak.

Hubungan antara kapitalis dan buruh bisa mengambil bentuk yang sangat berbeda-beda dalam hal yang khusus –dari paksaan yang terang-terangan sampai kepatuhan lahiriah, demokrasi dan persahabatan. Tetapi inti hubungan antara kapitalis dengan buruh akan senantiasa sama, ialah penghisapan. Gambaran dari berbagai kenyataan-kenyataan yang kongkrit dan peristiwa-peristiwa (insiden-insiden) tidak cukup untuk mengungkapkan inti yang sesungguhnya tentang hubungan-hubungan klas, ia memerlukan analisa teoritis yang menelanjangi watak kapitalisme dan menyangkut konsep-konsep yang abstrak yang mampu untuk mengungkapkan hukum-hukumnya.

Lenin menulis bahwa “pemikiran yang timbul dari yang nyata ke yang abstrak, tidak terpisah –dari kebenaran, tetapi mendekati kebenaran. Abstraksi benda, hukum alam, abstraksi nilai, dan lain-lain pendeknya, semua abstraksi ilmiah (benar (corect), serius, bukannya sembarangan) mencerminkan alam lebih mendalam, lebih benar (corect), lebih lengkap.”

Daya pikiran terletak dalam kecakapannya untuk abstraksi, kemampuannya untuk memisahkan kekhususan-kekhususan dan mencapai generalisasi (penyimpulan) yang menyatakan soal yang pokok dan paling essensial dalam fenomena. Daya pikiran terletak dalam kecakapannya untuk melampaui batas-batas saat yang sangat dekat (immediate moment), untuk memahami perkembangan yang lampau, dan untuk meramalkan yang akan datang dengan menggunakan hukum-hukum yang obyektif yang ia ketemukan. Pemikiran adalah proses yang aktif, –suatu proses untuk menciptakan konsep-konsep dan menjalankan dengan mereka. Tetapi pemikiran dan hasil-hasilnya (konsep-konsep) tidak dihubungkan dengan dunia obyektif secara langsung, melainkan secara tak langsung melalui aktivitas praktis dan sensasi-sensasi. Keuntungan atau kefaedahan konsep-konsep itu ialah dalam hal mereka tak terikat pada sementara fakta-fakta yang khusus, dan secara relatif tak tergantung padanya. Karena inilah pikiran mampu mempelajari sedalam-dalamnya dan menganalisa fenomena-fenomena, mampu memperkirakan yang tak terbatas terhadap kenyataan yang kongkrit, mampu mencerminkan dunia yang makin tepat.

Tetapi dengan perbuatan yang demikian selalu ada bahaya ketidaktahuan kenyataan bagi pikiran, bahaya fantasi (khayalan) yang tak berdasar dan proses pemikiran diubah kedalam sesuatu yang berdiri sendiri, kedalam sesuatu yang berdiri sendiri, kedalam pengakhiran diri. Itulah jalan menuju ke idealisme.

Penangkal yang terpercaya untuk ini ialah hubungan dengan praktek, dengan kehidupan, dengan produksi, dengan pengalaman massa Rakyat. Ilmu yang murni berkembang karena ia selalu kembali pada pengalaman indera, pada praktek, bagaimanapun tinggi pemikiran teoritis dari ilmuwan itu membubung. Saling mempengaruhi antara praktek, percobaan dan pemikiran teoritis merupakan jaminan bagi kemajuan ilmu yang penuh sukses. Lewat kerja sama dengan tangan dan otaknya itulah manusia dapat menemukan banyak hukum-hukum alam, memahaminya secara mendalam dan menjadi penguasa terhadap alam dan tenaganya yang maha hebat.

Pengenalan Yang Tak Terbatas Atas Alam Yang Tak Terbatas

Pengenalan manusia secara keseluruhan merupakan proses yang kontinyu (berkesinambungan) yang berkembang tak ada akhirnya.

Dunia obyektif yang mengelilingi manusia tak terbatas. Ia berubah tak henti-hentinya dan berkembang, ia melahirkan terus menerus banyak sekali bentuk-bentuk yang baru. Bagaimanapun dalamnya pengenalan menembus kedalam alam semesta, ia akan selalu mempunyai bidang yang tak kunjung habis bagi riset dan generalisasi yang baru, untuk menemukan hukum-hukum baru dan menyelidiki hubungan-hubungan yang lebih universal, mendalam dan esensial.

Tidak satupun dari ilmu-ilmu yang tersedia bagi manusia pernah menguraikan secara lengkap semua fenomena dan semua keteraturan dalam bidangnya, dan tak akan pernah dapat berbuat demikian, disebabkan oleh sifat alam yang tak terbatas.

Pengenalan itu tak terbatas bukannya hanya disebabkan obyek pengenalan ­­–alam dan masyarakat– yang secara tak terbatas beraneka ragam, tetapi juga disebabkan pengenalan itu sendiri tidak mempunyai batas. Perkembangan progresif produksi dan hubungan-hubungan sosial menghadapkan ilmu secara kontinyu akan masalah-masalah teori dan teknik yang baru, dan menciptakan keperluan-keperluan baru. Keinginan manusia akan ilmu pengetahuan tak mengenal batas. Tiap kebenaran yang baru ditemukan membuka batas pengalaman bagi manusia dan menimbulkan masalah-masalah baru, mendorong lebih jauh penembusan kedalam obyek-obyek pengenalan, dan memperbaiki pengetahuan yang lebih dahulu. Ajaran materialisme dialektika tentang ketidak kunjung habisnya dan ketakterbatasan ilmu pengetahuan bertentangan dengan agnostisme. Materialisme dialektika mengakui pembatasan-pembatasan sejarah atas ilmu pengetahuan pada setiap jamannya, tetapi ia dengan tegas menolak pengertian yang palsu mengenai adanya suatu batas mutlak yang tak bisa dilintasi ilmu.

Pengenalan manusia adalah maha kuasa. Ia tak mempunyai batas-batas, tak terbatas. Tetapi pengenalan yang maha kuasa ini diperoleh oleh orang-orang yang kekuatannya dibatasi oleh kemampuan mereka, oleh tingkat pengetahuan yang dicapai, fasilitas-fasilitas teknik yang ada dan sebagainya.

Kontradiksi antara kemungkinan pengenalan yang tak terbatas dari seseorang ini dengan ilmu pengetahuan yang pada dasarnya tak terbatas itu diatasi dalam rangkaian generasi-generasi dan dengan kerja kolektif umat manusia, pada tiap masa kehidupannya. Pikiran manusia “hanya hidup sebagai pemikiran individual dari bermilyar-milyar orang pada masa lampau, sekarang dan yang akan datang”, kata Engels.

Kebenaran-kebenaran ilmiah tidak timbul sekaligus dalam suatu bentuknya yang terakhir, tetapi mengambil bentuknya secara bertahap sebagai hasil dari proses perkembangan ilmiah yang panjang dan penghimpunan ilmu pengetahuan oleh banyak generasi-generasi bangsa.

“Pengenalan adalah pendekatan pemikiran yang abadi dan tak berakhir terhadap obyek-obyek. Refleksi alam dalam pikiran manusia seharusnya tidak dimengertikan sebagai “mati”, sebagai “abstrak”, tanpa gerak, tanpa kontradiksi-kontradiksi, tetapi sebagai dalam proses gerak yang abadi, lahirnya kontradiksi-kontradiksi, tetapi sebagai dalam proses gerak yang abadi, lahirnya kontradiksi-kontradiksi dan pemecahannya”.

Kebenaran Absolut dan Relatif

Pada setiap masa sejarah tertentu pengetahuan yang telah dicapai oleh ilmu merupakan sesuatu yang tidak lengkap, tak sempurna. Kemajuan dalam pengenalan kebenaran tercapai dengan mengurangi dan melenyapkan ketidaklengkapan ini secara bertahap, sementara itu ketepatan dan kelengkapan refleksi fenomena dan huku-hukum alam secara mantap bertambah.

Orang harus bisa membedakan antara kebohongan-kebohongan yang sengaja, seperti sering digunakan oleh musuh-musuh kemajuan ilmu, dengan kesalahan-kesalahan atau kesalahpahaman yang timbul dalam proses pengenalan dikarenakan sebab-sebab yang wajar : tidak memadainya tingkat pengatahuan umum dalam suatu bidangn tertentu, tidak kesempurnaan alat-alat teknik yang digunakan dalam riset ilmiah, dan lain-lain.

Sifat pertentangan pengetahuan yang dialektik juga ditunjukkan oleh kebenaran yang sering berkembang berdampingan dengan kesalahan, dan itu terjadi kadang-kadang teori-teori yangberat sebelah dan bahkan tidak benar itu berlaku sebagai bentuk perkembangan kebenaran.

Selama abad XIX, fisika bertahan kepada teori gelombang cahaya. Pagi-pagi dalam abad XX didapatkan bahwa teori gelombang cahaya itu berat sebelah dan tidak cukup, karena cahaya telah memiliki kedua-duanya baik sifat menggelombang maupun sifat corpuscular. Akan tetapi, teori gelombang itu telah memungkinkan para ilmuwan menciptakan sejumlah besar penemuan penting dan menguraikan banyak fenomena penglihatan (optik).

Perkembangan metode dialektika Hegel pada dasar-dasar idealis yang palsu bisa berlaku sebagai contoh mengenai kebenaran yang berkembang dalam bentuk teori yang salah. Ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan pengetahuan manusia dan kebenaran-kebenaran yang dikumpulkan oleh manusia lajimnya dilukiskan sebagai kerelatifan pengetahuan. Kebenaran relatif adalah kebenaran yang tidak lengkap, tidak sempurna. Tetapi jika kita harus berhenti pada titik ini, dengan penguatan relativitas pengetahuan manusia, kita akan membuat kesalahan yang sering dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan fisika yang sejaman, yang secara lihai digunakan oleh filosuf-filsosuf idealis untuk tujuan-tujuan mereka sendiri. Mereka melihat dalam pengetahuan manusia hanya relativitas, kelemahan dan ketidaklengkapan, maka sampai pada penolakan terhadap kebenaran obyektif sampai pada relativisme dan agnostisme.

Suatu sofistri (cara berpikir yang menyesatkan atau tak masuk akal) atau konsepsi yang palsu bisa dibenarkan dari titik pandangan samacam menghasilkan nilai-nilai material merupakan rumus yangsungguh besar. Ide Darwin tentang evolusi jenis organik dan asal-usul manusia dari binatang merupakan kebenaran mutlak.

Kebenaran mutlak semacam itu termuat atau terkandung dalam teori-teori dan hukum-hukum ilmu dan manusia terpimpin oleh mereka dalam aktivitas praktis dan teoritisnya. Akan tetapi, materialisme dialektika yang memandang pengenalan sebagai suatu proses mempunyai pendekatan yang sama terhadap kebenaran mutlak. Dengan kebenaran-kebenaran mutlak, filsafat Marxis tidak hanya mengartikan kebenaran-kebenaran akhir individual seperti “Napoleon meninggal pada tanggal 5 Mei 1821”. Ia menamakan arti yang lebih luas pada pengertian kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak adalah peluasan isi yang mutlak benar secara tetap dari pengetahuan yang relatif benar. Itulah proses pencerminan dunia obyektif yang selalu lebih sempurna, lebih mendalam dan lebih tepat.

Kesatuan Dialektik Dari Kebenaran Absolut Dan Kebenaran Relatif

Dimana-mana dalam sejarah ilmu kita melihat bahwa ada isi yang absolut benar yang didalamnya ada kebenaran-kebenaran relatif seperti yang dirumuskan semula. Tetapi mereka juga mengandung isi yang kemudian dibuang karena salah. Kita tahu bagaimana isi yang absolut benar meluas dan mengembang ketika kebenaran berkembang, sebaliknya unsur kesalahan terus menyusut. Kita tahu bagaimana kebenaran relatif secara konstan atau mantap mendekati kebenaran absolut. Kita tahu bagaimana pengetahuan manusia yang absolut berkembang dari sejumlah kebenaran relatif.

“Pikiran manusia menurut kodratnya” kata Lenin, “mampu memberi dan memberikan kebenaran absolut yang disusun dari sejumlah kebenaran-kebenaran relatif. Tiap langkah perkembangan ilmu menambah butir-butir baru pada sejumlah kebenaran absolut, tetapi batas-batas kebenaran dari setiap rumus ilmiah adalah, kini meluas, kini menyusut bersama-sama berkembangnya pengetahuan.”

Konsepsi dialektik dari kebenaran absolut ini sangat penting dalam melawan metafisika dan dogmatisme dalam ilmu. Sangat bayak filosuf-filosuf dan ilmuwan-ilmuwan cenderung untuk menyatakan bahwa pengetahuan yang mereka peroleh adalah kebenaran absolut yang abadi dan sempurna, yang tak memerlukan perkembangan atau pembuktian lebih lanjut. Hegel misalnya, menyatakan seluruh isi dari sistem filsafat idealismenya menjadi kebenaran mutlak dan abadi, maka itu bertentangan dengan metode dialektikanya. Dalam hubungannya dengan pengetahuan metafisika gagal dalam memahamkan bahwa kebenaran absolut juga berkembang dan dalam suatu proses.

Marx dan Engels telah mengembangkan materialisme dialektika –suatu bentuk baru materialisme yang bebas dari cacat-cacat materialisme metafisika sebelumnya. Tetapi ini tidaklah berarti Marx dan Engels telah menyempurnakan perkembangan filsafat dan menyelesaikan semua kebenaran filosofi. Lenin berkata : “Kita tidak menganggap teori Marxis sebagai sesuatu yang telah sempurna, dan tak bisa diganggu gugat, sebaliknya, kita yakin bahwa ia hanya meletakkan batu pertama (dasar) ilmu yang kaum Sosialis harus membawa maju kesegala jurusan jika mereka menginginkan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan”.

Apakah ini juga berlaku bagi hukum-hukum dan dasar-dasar dialektika Marxis ? Ya, sudah berkembang. Pemahaman hukum-hukum umum dan kategori-kategori dialektika, sebagaimana hukum-hukum ilmu yang lain, harus memperdalam dengan perubahan praktis dan perkembangan ilmu. Ia harus diperkaya dengan pengalaman baru, pengetahuan baru. Hukum umum dialektika berlaku berbeda-beda dalam kondisi-kondisi sejarah yang berbeda. Dengan dasar inilah pengetahuan tentang hukum-hukum dialektika diperkaya dengan penelitian atas kondisi-kondisi baru ini. Tetapi, perkembangan dialektika sebagai ilmu tidak bisa menuju kearah penghapusan dalil-dalil pokok yang dikembangkan dalam waktu sejatah yang lama dan rumit dari pemikiran manusia, ia hanya berarti pemahamannya yang makin lebih mendalam dan lengkap.

Kebenaran Adalah Kongkrit

Kebenaran-kebenaran yang diperoleh dengan pengenalan manusia tidak harus dipandang secara abstrak atau terpisah dari kehidupan, tetapi dalam hubungan mereka dengan kondisi-kondisi yang kongkrit. Itulah arti tesis materialisme dialektika yang paling penting, yakni : bahwa tak ada kebenaran abstrak, kebenaran adalah kongkrit.

Apakah geometri Euclidian yang kita pelajari disekolah itu benar ? Ia tak dapat disangsikan adalah benar, tetapi hanya dalam hubungannya dengan dimensi yang biasanya kita berurusan. Ia menjadi tak cukup dalam hubungannya dengan kedua-duanya baik dengan mikrokosmos maupun dengan ruang antar galaksi, dimana kita harus menggunakan geometri yang non Euclidian, seperti geometri Riemonn misalnya.

Berbicara tentang demokrasi borjuis, Lenin mencatat bahwa ia merupakan kemajuan besar dibanding sistem feodalisme. Republik demokrasi dan hak pilih umum dibawah syarat-syarat masyarakat kapitalis memberikan proletariat suatu kesempatan untuk menyusun organisasi politik dan ekonominya sendiri, lewat mana ia melakukan suatu perjuangan yang metodik melawan kapitalisme. Tak ada sesuatu bahkan yang kira-kira mirip ini diantara kaum tani hamba apalagi diantara budak.

Pada waktu yang bersamaan Lenin dengan tandas menelanjangi pebaasan-pembaasan serta kepicikan demokrasi borjuis dibandingkan dengan demokrasi soviet –demokrasi untuk mayoritas besar Rakyat yang lahir dari inisiatif masyarakat revolusioner yang kreatif.

Tesis materialisme dialektika dari sifat-sifat kongkrit kebenaran memberitahukan kita berlawanan dengan formula-formula umum dan maksud-maksud yang tidak baik dalam perlakuan terhadap kenyataan. Dialektika mengajar kita untuk memperhatikan kenyataan, untuk memperhitungkan saling hubungan fenomena yang kongkrit, untuk menganalisa kondisi-kondisi yang berubah dan untuk menyesuaikan tindakan kita terhadapnya. Dialektika mengharuskan agar prinsip-prinsip dan hukum-hukum umum itu mesti diterapkan sesuai dengan situasi kongkrit. Inilah pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan praktek.

Pentingnya Teori Marxis Tentang Kebenaran Bagi Ilmu dan Praktek

Ajaran materialisme dialektika tentang kebenaran absolut dan relatif dan sifat kongkrit kebenaran sangat penting bagi ilmu dan praktek. Dalam analisanya mengenai perkembangan ilmu fisika dalam akhir abad XIX dan awal abad XX, Lenin menunjukkan bahwa kesalahan idealis yang dibuat oleh banyak ilmuwan periode itu karena ketidaktahuan mereka tentang dialetika proses pengenalan. Barang siapa berpikir sepanjang garis metafisika, beranggapan bahwa kebenaran adalah absolut atau sama sekali tidak ada. Untuk waktu yanng lama para ilmuwan berpikir bahwa teori-teori ilmu fisika klasik merupakan kebenaran absolut. Tetapi ketika penemuan baru menumbangkan pengertian-pengertian ilmiah lama dan mengungkapkan ketidaklengkapan teori-teri yang terdahulu, sementara ilmuwan kehilangan arahnya (tersesat). Nampak pada meeka bahwa tak ada sama sekali kebenaran absolut atau kebenaran obyektif, bahwa semua pengetahuan kita merupakan relatif semata-mata, bersyarat dan subyektif. Sikap kaum relativis ini menyebabkan mereka menjadi korban filosofi idealis.

Ilmu pengetahuan dialektika tidak hanya meungkinkan para ilmuwan mencegah kesalahan idealis, ia memungkinkan mereka mengatasi kesulitan yang dihadapi ilmu. Konsepsi dialektik mengenai kebenaran relatif dan absolut menunjukkan pendekaan yang tepat terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam proses pengenalan, dalam ilmu. Kebenaran bukannya timbul sudah jadi. Pengenalan adalah suatu proses yang sulit dan kompleks, menghadapi kesalahan-kesalahan salah hitung dan teori-teori serta pandangan-pandangan yang berat sebelah. Tetapi ide-ide yang dibawa maju oleh ilmu secara bertahap diubah melalui saringan kritik, ditempa dalam dapur api praktek, dan semua unsur-unsur yang palsu dibuang dan dibakar habis, sedangkan isinya yang absolut dan secara obyektif benar tingga tetap dan menjadi modal permanen bagi ilmu.

Tak seorangpun bisa menyatakan secara mutlak tak dapat salah. Tetapi sekalipun kesalahan itu tak bisa dielakkan dalam aktivitas pengenalan manusia, ini tidak sekali-kali berarti bahwa tiap langkah atau tindak pengenalan kongkrit oleh tiap ilmuwan pasti harus melibatkan kekeliruan. Seorang ilmuwan harus berusaha keras untuk mencegah membuat kesalahan-kesalahan dalam riset. Jalan untuk mencegah membuat kesalahan-kesalahan dalam riset. Jalan untuk mencegah kesalahan-kesalahan ialah melalui penguasaan metode dialektik riset ilmiah menjaga hubungan seerat-eratnya dengan praktek, mempelajari segala-segalanya secara mendalam tentang persoalan yang dikuasai dan secara kolektif mendiskusikan masalah-masalah dan pemecahannya yang disarankan atau dianjurkan, dan lain-lain. Tak ada orang yang bisa menghindar dari berbuat kesalahan. Bagaimanapun keadaannya, pertama-tama, tidak membuat kesalahan-kesalahan yang banyak, kedua, tidak terus melakukan kesalahan-kesalahan bilamana hal itu sudah tidak bisa dipungkiri begitu saja.

Kritik dan otokritik adalah kekauatan yang mengurangi kemungkinan terhadap kesalahan-kesalahan kedua-duanya baik dalam pengenalan maupun dalam aktivitas praktis, dan mengungkapkannya ketika kesalahan-kesalahan itu terjadi. Perjuangan pandangan-pandangan dalam ilmu, sifat-sifat yang kritis terhadap usaha ilmiahnya sendiri dan pendeatan yang penuh perhatian terhadap kritik dari orang lain –ini merupakan syarat-syarat bagi pekerjaan yang normal dari tiap ilmuwan. Menutup mata dan menindas kritik dengan cara apapun sangat merugikan ilmuwan itu sendiri dan ilmu.

Konsepsi kebenaran yang dialektik juga membantu dalam melawan dogmatisme dan revisionisme yang bertentangan dengan Marxisme dan mengabaikan ajaran-ajaran materialisme dialektika, tentang kebenaran relatif dan kebenaran kongkrit, meskipun mereka mungkin bersumpah setia kepadanya.

Dogmatisme memandang rumus-rumus teoritis sebagai kebenaran umum yang absolut yang bisa diterapkan sama dalam segala hal, tanpa memperhatikan sitausi kongkrit dan munculnya fenomena-fenomena baru. Dilain pihak revisionisme, sepanjang metodeloginya disangkutkan, menerima relativisme yang ekstrim, dan tidak lebih daripada menyatakan sifat relatif pada setiap kebenaran, tidak mengakui prinsip-prinsip Marxisme yang fundamental yang merupakan intinya yang revolusioner.

Dialektika Marxis menelanjangi kesalahan-kesalahan metafisika baik dogmatisme maupun revisionisme. Dengan mengakui sifat relatif dari pengetahuan kita, dialektika mencegah rumus-rumus teoritis menjadi kaku dan berubah menjadi dogma. Ia memerlukan pengetrapkan yang kongkrit bagi kebenaran-kebenaran umum menyeluruh. Pada waktu yang bersamaan dialektika bertolak dari kenyataan bahwa butir-butir kebenaran absolut disusun dan dihimpun dalam proses pengenalan. Ini berlaku antara lain untuk prinsip-prinsip pokok teori Marxisme-Leninisme. Mereka bisa dan harus dikembangkan, diperkaya dan diberi bentuk-bentuk kongkrit yang sesuai dengan praktek sosial dan ilmu, tetapi tidak harus dibuang, karena dengan demikian akan mengkhianati kebenaran.

Praktek Adalah Ukuran Kebenaran

Agar bermanfaat bagi masyarakat, ide dan teori ilmiah harus bear. Untuk membuktikan apakah suatu teori itu benar, ia harus dibandingkan dengan kenyataan. Tetapi bagaimana hal ini dilaukan ? Masalah ini sudah sepantasnya dianggap suatu masalah yang amat sulit dan untuk waktu yang lama filosuf-filosuf tidak dapat menemukan pendekatan yang benar terhadapnya. Hanya Marxlah yang berhasil dalam memecahkannya. Ia mengubah kesalahan usaha untuk menemukan ukuran kebenaran hanya dalam kesadaran, dan ia menentukan bahwa orang bisa membuktikan kebenaran, kekuatan pikirannya, melulu dalam mengamalkan aktivitas praktisnya.

Memang, orang tak mempunyai alat lain untuk membuktikan kebenaran pengetahuannya kecuali lewat praktek. Aktivitas praktisnyalah –basis dan tujuan akhir –yang merupakan ukuran tertinggi yang menentukan apakah pengetahuan yang diperoleh benar atu tidak. Praktek adalah ukuran kebenaran.

Materialisme dialektika menegaskan praktek sebagai sesuatu diamana manusia, makhluk utama, bertindak terhadap lingkungan materialnya. Praktek adalah seluruh aktivitas manusia dalam mengubah dunia, terutama aktivitas produksi, dan ativitas sosial serta aktivitas revolusioner.

Dalam hubungan industri, bentuk yang sangat luas dari pengujian ide-ide teknologi dan ilmu secara praktis adalah ujian pabrik dan penggunaan mesin secara besar-besaran, perkakas dan proses teknologi. Dalam riset ilmiah, praktek sering berbentuk eksperimen, ialah : campur tangan manusia yang aktif dalam fenomena alam, jika dengan kekuatan perkiraan teoritis tertentu kondisi-kondisi tercipta secara buatan untuk reproduksi atau sebaliknya, berakhirlah fenomena yang dibicarakan. Dimana pengaruh yang terdekat atas obyek yang sedang dipelajari tidak dimungkinkan, seperti mengenai bintang, konsepsi kita terhadapnya diuji dengan membandingkan mereka dengan hasil-hasil dari semua pengamatan astronomi dan dengan data-data dari bidang-bidang ilmu yang bersangkutan.

Kadang-kadang ide-ide baru mungkin boleh diuji secara tidak langsung, ialah dengan membandingkan mereka dengan teori-teori dan hukum-hukum yang telah mendapatkan ciri kebenaran obyektif. Dalam banyak hal, pengeahuan yang sistematis yang telah dimiliki oleh umat manusia memungkinkan sementara ide-ide untuk dinilai tanpa eksperimen-eksperimen baru. Jika seorang penemu, misalnya, akan merencanakan mesin baru “yang bergerak abadi”, tak ada yayasan ilmiah didunia akan mengganggu pembangunan model mesin tersebut, untuk percobaan praktis atau bahkan untuk mengujinya. Ide tentang mesin “yang bergerak abadi” bertentangan dengan hukum-hukum alam yang fundamental, kepalsuannya sudah nyata dan tak perlu percobaan baru. Ini tidaklah berarti bahwa ukuran praktek tidak mencukupi dalam soal ini. Tidak, ia dilakukan secara tidak langsung lewat kebenaran-kebenaran yang telah dimantapkan dan teruji, lewat pengalaman-pengalaman generasi-generasi ilmuwan waktu lampau.

Praktek juga merupakan ukuran kebenaran bagi ilmu sosial. Praktek disini tidak hanya berarti aksi-aksi dari orang seorang, tetapi aktivitas kelompok-kelompok (group) masyarakat yang luas, klas-kals dan partai-partai. Pengalaman praktek seseorang yang tak terelakkan sempit dan terbatas, tak seharusnya dipertentangkan dengan pengalaman kolektif dari sesuatu klas atau partai. Ukuran kebenaran teori-teori sosial itu hanyalah bisa menjadi aktivitas revolusioner praktis dan produktif dari massa Rakyat.

Revolusi sosialis Oktober Besar adalah penguatan yang brilian atas analisa Marx tentang cara produksi kapitalis dan kesimpulannya bahwa kapitalisme secara tak terelakkan akan binasa dan diganti dengan cara produksi sosialis.

Dalam mempraktekkan ukuran kebenaran itu, materialisme dialektika tidak sekali-kali mengabaikan pentingnya pikiran. Marx menulis bahwa rahasia-rahasia teori “mendapatkan pemecahannya dalam praktek manusia dan dalam pemahaman dari praktek ini”. Pikiran memainkan bagian yang sangat penting dalam membuktikan kebenaran ide-ide dan teori-teori. Praktek sebagai ukuran-ukuran kebenaran bukanlah suatu perkakas atau alat yang meterannya secara otomatis menunjuk pada “benar” atau “salah”. Dalam prakteknya, orang mencapai suatu hasil tertentu, yang arti pentingnya masih harus dierenungkan dan diuraikan. Misalnya, tidaklah selalu mungkin untuk menyimpulkan bahwa pola dari sesuatu model baru atau penemuan tidak berguna karena ujian pertama agal. Hasil ang didapat bisa dinilai secara benar hanya dengan secara hati-hati menganalisa ide yang mendasari penemuan itu dan semua syarat-syarat bagi pelaksanaannya.

Praktek tidak tinggal tenang, ia terus menerus berubah, berkembang dan maju. Bidang aktivitas manusia dan kemungkinan penembusannya kedalam dunia sekitarnya berkembang lebih luas. Ia bisa makan banyak waktu untuk praktek guna memungkinkan memperkuat suatu ide. Akan tetapi suatu ide yang benar cepat atau lambat pasti dikuatkan. Ide bahwa bumi adalah bulat, misalnya, lama dianggap tidak benar dan dianggap tidak benar dan dianggap sebagai bertentangan dengan kepercayaan yang berlaku, baru setelah perjalanan Magellan mengelilingi dunia dalam tahun 1519-1522 mengubah semua keraguan tentag alasan itu pada waktu itu dan waktu-waktu sebelumnya.

Praktek berkembang dan maju. Karena itu, ia juga dapat berisi kedua-duanya baik unsur-unsur yang lama maupun yang baru. Inilah sebabnya tidak semua praktek merupakan ukuran kebenaran yang dapat dipercaya. Oangorang yang berpikiran konservatif juga sering berbicara tentang praktek untuk menyerang ide-ide yang baru. Tetapi mereka berbicara tentang praktek yang usang. Teori progresif bersandar pada praktek progresif, karena inilah praktek menyajikan data-data untuk menilai kebenaran suatu teori dan bahan-bahan baru bagi ilmu, meningkatkan pemikiran dan memajukannya. Seperti halnya kebenaran relatif mempunyai isi absolut tertentu, demikian juga praktek, sekalipun menurut sejarah terbatas pada suatu waktu tertentu, juga mempunyai arti penting yang permanen, yang merupakan suatu bentuk yang tetap dan perlu mengenai hubungan manusia dengan alam.

Pragmatisme Adalah Filsafat “Untung-untungan”

Aliran filsafat yang terkenal dengan “pragmatisme” (berasal dari kata Yunani yaitu pragma –usaha atau bisnis) tersebut luas dalam negeri-negeri kapitalis terutama di Amerika serikat. Pendirinya adalah ahli logika Amerika yang terkemuka Charles Pierre, yang menyusun suatu sistem filsafat idealis yang bertentangan dan ruwet, dan dengan filsafat ini ia berusaha untuk mengkombinasikan ide ilmiah tertentu dengan kepentingan agama. Ajaran pragmatisme yang ia kemukakan dalam tahun tujuhpuluhan abad yang lalu (abad XIX) adalah bagian dari sistem ini.

Duapuluh tahun kemudian ahli psikologi Amerika yang tenar William James menyelamatkan ajaran ini dai dilupakan orang, menyesuaikannya dengan tingkat intelektual kaum bisnis dan Filistin Amerika, dan memamerkannya di “pasar ide”, dimana ajaran itu dengan cepat menjadi mode dan secara praktis menjadi filsafat resmi dari jalan kehidupan Amerika.

Sementara filosuf borjuis berusaha untuk menyamakan pragmatisme dengan Marxisme atas dasar bahwa pragmatisme secara kontinyu berbicara tentang aksi dan menyedarkan ujian praktis terhadap ide dan teori. Kaum revisionis juga bersama-sama dengan propaganda borjuis dalam memfitnah kaum Marxis dan menuduh mereka sebagai pragmatis. Dalam kenyataan, Marxisme sama sekali berbeda denngan pragmatisme, yang merupakan ajaran palsu idealis yang diterima sebagai senjata oleh kaum ideologis-ideologis borjuis imperialis. Walaupun pragmatisme berbicara tentang praktek dan berpura-pura menjadi “filsafat aksi”, pragmatisme memajukan konsepsi praktek yang subyektif individualistik borjuis yang didasarkan atas pemikiran yang tidak ilmiah bahwa dunia itu irrasional dan tidak bisa diketahui.

Leitmotiv (dasar) filsafat pragmatis ialah ide bahwa manusia harus bertindak dalam dunia, terhadap mana ia tak bisa memiliki pengetahuan yang terpercaya. Dari titik pandangan pragmatisme, dunia yang dapat didekati adalah kekacauan-kekacauan sensasi dan emosi yang sama sekali tanpa kesatuan inti dan diluar pengenalan yang rasional. “Kita berangkai berada dalam alam semesta, tulis William James, sebagaimana anjing dan kucing berada dalam perpustakaan kita, melihat buku-buku dan mendengar percakapan tetapi mempunyai persangkaan mengenai arti dari semuanya itu”. Tetapi dimanakah orang mendapatkan pedoman jika ia kehilangan pengetahuan ? Sebagai ganti pengetahuan, James menyerahkan kepercayan irrasional yang instinstif, terutama kepercayaan agama yang menyingkirkan pikiran-pikiran logis.

Kaum pragmatis lainnya, yang dikepalai oleh John Deway, menganjurkan “logika instrumental” atau “logika eksperimental”, yang secara esensial sama dengan penelitian yang menggunakan metode percobaan dan kesalahan atas tipe yang paling menguntungkan dalam situasi tertentu.

Dari titik pandangan pragmatis, pikiran tidak menyediakan atau memberikan pengetahuan, tetapi hanya memberikan kemampuan untuk mendapatkan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan dan mencapai sukses. Karena itu, kaum pragmatis menyatakan bahwa konsep-konsep ilmiah, hukum dan teori bukan pencerminan atau salinan dari kenyataan obyektif, tapi hanya “penuntun untuk aksi”, “alat” atau “instrumen” guna merealisasi tujuan. Jika suatu ide atau teori “bekerja” dan meningkatkan sukses, ia baik, ia benar. Jika tidak, ia salah, ia jelek.

Kaum pragmatis beranggapan dogma agama sangat berguna dan karena itu dan karena itu benar. Mereka melakukan prisnsip (asas) keuntungan tidak hanya pada pengetahuan, tetapi juga pada semua bentuk aktivitas intelektuan dan praktis. Motto Jesuit lama bahwa “tujuan memperbaiki alat” sungguh-sungguh menyatakan inti dari pendekatan mereka pada kehidupan.

Kaum pragmatis menolak kenyataan obyektif dunia sekitarnya dan memandangnya sebagai material “pengalaman” yang mentah dan tak tertentu yang mungkin mengambil suatu bentuk untuk melengkapi tujuan manusia. Dunia, mereka mengatakan, merupakan “plastik”; ia selalu menjadi apa yang kita buat terhadapnya dan siap menghasilkan akan paksaan manusia. Tak ada kenyataan-kenyataan obyektif yang mantap, mereka megatakan, yang ada hanyalah interprestasi (penafsiran) yang kita berikan kepadanya. Jadi semua realitas ercipta seluruhnya tergantung ada subyek (pelaku) dan kemauannya.

Maka dari itu, filsafat pragmatisme didasarkan pada konsepsi praktek yang diputarbalikkan, ia sangat membesar-besarkan sifat aktivitas manusia yang dkehendaki (volitional characteristic man’s activity) dan membuatnya sebagai basis realitas. Tetapi bertentangan dengan pernyataan-pernyataan kaum pragmatis aktivitas manusia tidak menciptakan dunia luar. Ia hanya mengubah dan mengganti bentuk realitas yang ada atau hidup tak bergantung pada manusia. Agar berhasil, aktivitas manusia yang sadar harus didasarkan pada pengetahuan tentang sifat-sifat benda yang obyektif dan hukum-hukum yang menguasaina. Aksi tidak mencegah pengetahuan sebagaimana dinyatakan oleh kaum pragmatis, tetapi mensyaratkan (membutuhkan sebagai syarat) keadanya. Tentu saja mungkin ada soal-soal yang berdiri sendiri yang suatu ketika sukses sebagian dan sementara bisa dicapai dengan tindakan yang didasarkan atas ide yang palsu. Tetapi ia biasanya merupakan sukses yang berumur pendek, sependek umur “sukses” Hitlerisme, yang menyandarkan pada mitologi fasis yang palsu.

Dengan melukiskan dunia sebaai “plastik”, realitas yang secara absolut melentur, filsafat pragmatisme menganjurkan ide yang palsu bahwa kemauan, energi dan penentuan untuk bertindak mampu mencapai –suatu tujuan yang ditentukan, terlepas dari kondisi-kondisi dan hukum-hukum obyektif.

Pragmatisme, pertama-tama dan terutama, adalah pandangan dunia dari “penggaruk-garuk uang yang penuh semangat” –raja uang dan monopolis-monopolis Amerika Serikat yang memandang diri mereka sebagai jagoan yang maha kuasa dari dunia kapitalis. Dengan mengabaikan kenyataan-kenyataan obyektif, filsafat idealis pragmatisme membantu perkembangan tendensi dalam pemikiran politik yang agresif dan avonturis serta menyajikan basis teoritis bagi politik untuk bertindak “dari posisi kekuatan”. Karena kegagalannya mengenal perbedaan obyektif antara kebenaran dan kepalsuan, dan dengan kebenaran serta kegunaan yang diperkenalkan pragmatisme membantu atau mendorong sesuatu yang tanpa prinsip dan memungkinkan kaum ideologis klas yang berkuasa membenarkan setiap kebohongan yang menguntungkan dan setiap tindak kejahatan. Pembenaran atas agresi, pemerkosaan dan kecurangan yang mengikuti inti filsafat pragmatis itu juga cocok untuk kepentingan kelompok imperialis yang paling reaksioner. Tidaklah mengherankan, jika Musolini mengakui bahwa ia belajar banyak dari William James dan menganggap pragmatisme “dasar dari fasisme”.

Bersamaan waktunya, dengan menempatkan semua aktivitas praktis dan teoritis lebih rendah dari ketentuan-ketentuan akan keuntungan yang segera, pragmatisme mengembangkan lebih jauh pendekatan kehidupan yang oportunis dan subyektif yang secara terbatas berfaedah.

Bila diterapkan dalam gerakan klas buruh, ia berarti pembelaan politik mengenai peristiwa-peristiwa remeh-temeh dan “perjuangan picisan”, ia berarti lenyapnya harapan dan pengkhianatan terhadap kepentingan klas proletar. Pragmatisme sangat bertentangan dengan pandangan dunia yang progresif ilmiah.

Arti pentingnya yang besar dari filsafat Marxis terletak dalam melengkapi aksi buruh dengan pengetahuan tentang hukum-hukum perkembangan dan pengubahan yang obyektif. Ia merupakan senjata yang ampuh dalam perjuangan untuk pembebasan klas buruh dan rakyat pekerja dari semua bentuk penindasan, untuk mendirikan kehidupan yang bebas.

Tetapi apakah kebebasan manusia itu dimungkinkan? Mampukah manusia menentukan nasibnya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini memusingkan orang sejak dahulu kala, tetapi tak seorangpun bisa memberikan jawabannya yang meyakinkan. Dalam mendiskusikan masalah kebebasan, kaum filosuf sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda tetapi selalu tidak tepat.

Sementara dari mereka menyetujui pandangan atalis yang mengingkari kebebasan. Fatalisme menguraikan secara terperinci takdir abadi dari segala aktivitas manusia. Fatalisme agama menyatakan bahwa kemauan manusia ditakdirkan oleh Tuhan. Kaum materialis metafisik kuno menyatakan, mengikat tangan dan kaki manusia dan membiarkannya tanpa kebebasan untuk bergerak.

Banyak aliran idealis, disatu pihak, mengingkari keharusan alam, karena mereka memperoleh dunia seperlunya dari kesaaran, dari kemauan manusia. Mereka menganggap, manusia bebas sepenuhnya dari demikian jauh mengatakan ketiadaan hukum yanng mutlak. Teori filsafat kebebasan semacam ini semacam itu merupakan perwakilan indeterminisme (tak berketentuan), “filsafat eksistensialisme” yang telah didiskusikan dimuka bisa diambil sebagai contoh.

Dari filosuf-filosuf pra Marxis, Hegel telah menghasilkan pemecahan yang paling mendalam atas masalah kebebasan dan keharusan, tetapi sebagaimana ajaran-ajarannya yang lain, ia mengembangkannya atas dasar idealis. Ia berusaha untuk menghubungkan kebebasan dan keharusan dengan penjelasan kebebasan sebagai pengakuan atas keharusan. Tetapi dengan keharusan ia maksudkan perkembangan yang perlu bagi ide absolut, sedangkan kebebasan menurut ajarannya hanya direalisasi dalam kejiwaan (the real of spirit).

Kesalahan pokok dari aaran-ajaran Hegel dan semua kaum idealis ialah bahwa mereka memehami kebebasan hanya sebagai kebebasan dalam jiwa, dalam kesadaran, sama sekali menghindari masalah kondisi-kondisi kehidupan yang nyata. Lagi pula, mereka selalu mengatakan tentang kebebasan individual dan mengabaikan masalah pembebasan massa.

Materialisme dialektika menyajikan pemecahan yang ilmiah atas masalah hubungan kebebasan dan keharusan. Walaupun ia menganggap keharusan sebagai basis, dialektika materialisme sekaligus mengakui kemungkinan kebebasan manusia. Kebebasan manusia yang sejati bukanlah suatu khayalan yang tak tergantung pada hukum-hukum alam dan masyarakat, (tidak ketergantungan semacam itu dalam kenyataan tidak mungkin). Ia terletak dalam mengenal hukum-hukum ini dan dalam aksi-aksi yang didasarkan atas pengetahuan itu.

Manusia bukannya makhluk gaib. Mereka tak bisa melampaui batas-batas hukum alam sesuatu yang lebih daripada mereka dapat mencegah bernapas. Lagi pula, manusia hidup dalam masyarakat, dan tak bisa menjadi kenal terhadap berlakunya hukum-hukum kehidupan masyarakat. Mereka tak dapat dengan senang-senang mencabut hukum-hukum perkembangan masyarakat yang berlaku atau mengajukan yang baru. Tetapi orang dapat mengenal hukum-hukum alam dan masyarakat, mengetahui alam dan arah operasinya, bisa menggunakan hukum-hukum itu untuk kepentingannya, untuk melayani diri mereka sendiri.

Semua teknologi modern yang jauh dari mengabaikan hukum-hukum alam, yang didasarkan atas penggunaan hukum-hukum ini dengan maksud tertentu, merupakan bukti bahwa mereka dapat digunakan dalam melayani manusia. Adalah lebih sulit lagi seseorang untuk menguasai hukum-hukum kehidupan sosial yang telah beribu-ribu tahun lamanya menguasainya sebagai suatu kekuatan yang asing dan bertentangan. Buruh diperbudak oleh hukum-hukum kehidupan ekonomi yang tanpa diminta-minta (spontaneous) dan oleh kekuatan klas penghisap yang berkuasa (dominan).

Pembebasan manusia dari perbudakan masyarakat klas, pencapaian kemerdekaannya, merupakan proses yang panjang dan sulit. Hanya pada jaman kita ia mendapatkan kepastian dan meraih berjuta-juta rakyat yang dibangkitkan oleh ajaran Marxisme untuk perjuangan sosialisme sepenuhnya. Pembangunan masyarakat sosialis akan berarti lompatan besar bagi umat manusia dari alam keharusan ke alam kemerdekaan. Dalam waktu yang berabad-abad lamanya dari perkembangan masyarakat manusia, walaupun tunduk pada kehrusan obyektif yang terletak diluar kemauannya, manusia makin banyak menguasai kekuatan-kekuatan unsur alam dan menciptakan dasar pemikiran bagi emansipasinya sendiri. Proses sejarah ini dikuasai oleh hukum-hukum khusus masyarakat itu sendiri yang berbeda dengan hukum-hukum alam. Studi tentang hukum-hukum yang menguasai perkembangan masyarakat manusia ini, meruakan satu bagian khusus dari filsafat Marxis, ialah Materialisme Histori yang sekarang akan kita garap.